MENAJAMKAN PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH

Minggu, 06 Maret 2011

HANCURNYA PENDIDIKAN OLEH KAUM INTELEKTUAL DAERAH


Dalam konteks otonomi daerah, pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dimulai dari diterapkannya UU Nomor 22 tahun 1999 dan disempurnakan dengan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, yang pada hakikatnya memberi kewenangan dan keluasan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan.

Realisasi dari UU ini tentunya mengarah pada tanggung jawab pemerintah daerah yang semakin meningkat dan semakin luas. Pemerintah daerah dengan legitimasi UU ini diharapkan senantiasa meningkatkan kemampuannya dalam berbagai tahap pembangunan pendidikan sejak mulai tahap perumusan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan sampai pada tingkat pengawasan.

Tentu saja kewenangan besar yang dimiliki oleh daerah ini hanya akan bermanfaat apabila pemerintah daerah memiliki sumber daya manusia (SDM) yang memiliki kompetensi memadahi untuk membuat kebijakan-kebijakan yang akurat.

Namun yang terjadi dilapangan sangat berlawanan dengan harapan masyarakat luas, permasalahan pendidikan di tingkat Kabupaten di era otonomi semakin bertambah komplek. Hal ini disebabkan karena pengambil kebijakan/para intelektual di daerah kurang memahami pendidikan itu sendiri.

Dari hasil pemantauan menunjukan bahwa hambatan di bidang pendidikan yang dihadapi daerah sejak sebelum otonomi daerah hingga kini belum banyak bergeser. Persoalannya masih di sekitar permasalahan sarana dan prasarana pendidikan yang tidak lengkap, jumlah dan mutu tenaga yang kurang dengan ketersebaran yang tidak merata. Akibatnya, kegiatan belajar-mengajar yang mengarah pada upaya perbaikan hasil belajar sulit terwujud. Banyak pihak menilai pengelolaan pelayanan pendidikan dasar di era otonomi daerah tidak menunjukkan perobahan berarti, bahkan cenderung memburuk. Permasalahan ini juga perlu mendapat perhatian khusus dari para pemegang kekuasaan dengan cara menganggarkan DAU untuk pendidikan secara proposional, jangan hanya dengan jargon saja bahwa pendidikan merupakan prioritas utama namun kenyataannya dana pendidikan minim sekali. Ada pejabat daerah yang menyatakan bahwa alokasi dana untuk pendidikan sudah sangat besar tapi setelah kita cermati ternyata dana besar tersebut adalah dana dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah propinsi sedangkan dana yang dari pemerintah kabupaten nol besar.

Bupati dengan kewenangannya yang besar terkadang membuat suatu kebijakan yang tidak dilandasi atau didasarkan pada kemampuan melainkan unsur suka-tidak suka dan kedekatan personal. Sebagai contoh di salah satu Kabupaten propinsi Jawa Timur, seorang kepala UPT Dinas Pendidikan yang membidangi pendidikan di tingkat TK/SD diangkat menjadi Kepala Bidang Pendidikan Menengah yang mengurusi pendidikan SMP/SMA/SMK otomatis yang bersangkutan tidak memiliki kompetensi sesuai dengan jabatannya. Siapa yang salah? Bisa di tebak yang salah adalah yang mengangkat. Kemudian parahnya lagi setelah ada masukan dari masyarakat 2 bulan kemudian yang bersangkutan digeser lagi ke bidang lain, hal ini menunjukan kebijakan yang coba-coba dan ujungnya merugikan masyarakat banyak. Semoga hal-hal seperti tersebut tidak akan terjadi lagi.

Permasalahan lain juga muncul saat pengangkatan kepala sekolah, tidak jarang penguasa mengangkat/memberhentikan kepala sekolah bukan berdasarkan kemampuan tapi berdasarkan kedekatan personal atau siapa orangnya siapa, lebih parah lagi kalau dikaitkan dengan berapa saudara berani beli tempat tersebut. Hal ini sangat tidak baik bagi perkembangan dunia pendidikan di daerah. Perlu diketahui para pengambil kebijakan bahwa kepala sekolah merupakan unsur yang sangat menentukan maju mundurnya pendidikan oleh karena itu perlu dipertimbangkan dengan bijaksana agar masyarakat luas tidak dirugikan dan berujung pada peningkatan mutu sumber daya manusia di Kabupaten tersebut.

Permasalahan lain lagi misalnya perilaku birokrasi dan birokrat pendidikan di daerah masih belum bersikap seperti pamong, apalagi ketika Kabupaten menjadi otonom, cukup banyak pejabat publik pengurus pendidikan yang meskipun memenuhi syarat kepangkatan, sama sekali tidak memahami esensi pendidikan, hal ini akan menghancurkan pendidikan itu sendiri. Tolong penguasa untuk menempatkan orang jangan sampai dilandasi suka tidak suka melainkan kompetensi yang dimiliki oleh personil yang akan menempati pos tersebut.

Apabila permasalahan-permaslahan tersebut tidak mendapat perhatian maka ungkapan bahwa “negeri ini dihancurkan oleh kaum intelektualnya sendiri” mendekati kebenaran dan kita tinggal menunggu hancurnya sebuah generasi. Mari kita doakan semoga para intelektual daerah sadar dan segera berbuat untuk daerahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar