MENAJAMKAN PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH

Selasa, 24 Mei 2011

REORGANISASI PENGURUS FKUB KAB. NGAWI PERIODE 2011 – 2015

Dengan habis masa berlakunya pengurus FKUB Kabupaten Ngawi periode 2007-2010 maka Badan Kesbang Pol Linmas Kabupaten Ngawi bersama Kantor Kemenag Kabupaten Ngawi memfasilitasi adanya rapat reorganisasi kepengurusan FKUB yang dilaksanakan pada hari Rabu tanggal 30 April 2011 bertempat di Aula Kantor Kemenag Kabupaten Ngawi. Rapat reorganisasi yang diadakan dihadiri oleh sejumlah tokoh agama dari unsure Islam, Katolik, protestan, hindu, budha yang ada di Kabupaten Ngawi.

Rapat Reorganisasi tersebut dibuka oleh Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Ngawi Sdr. H. Ahmad Rodli, M.Ag selaku wakil Dewan Pembina FKUB Kabupaten Ngawi. Dalam sambutannya Ahmad Rodli mengulas tentang pemicu konflik sosial yang harus ditelusuri dan mendapat perhatian semua pihak agar konflik tidak akan terjadi di Kabupaten Ngawi. Beberapa factor pemicu konflik social yang perlu dicermati yakni (1) factor ekonomi dan politik (2) factor agama dan (3) factor etnisitas (urban dan penduduk asli). Faktor agama yang saat ini sering muncul diantaranya permasalahan pendirian rumah ibadah, penyiaran agama, bantuan luar negeri, perkawinan beda agama, perayaan hari besar keagamaan, penodaan agama dan kegiatan aliran sempalan. Selain mengulas masalah pemicu konflik social Ahmad Rodli juga mewanti-wanti bahwa pengembangan semangat kerukunan beragama harus selalu dipupuk sehingga tidak akan muncul benih-benih konflik. Terkait dengan pengembangan semangat kerukunan Bpk. menyatakan (1) penyadaran bahwa setiap agama memiliki doktrin akidah yang tidak dapat dikompromikan antara satu dengan lainnya, (2) dalam bidang social kemasyarakatan banyak jenis aktivitas yang dapat dikompromikan karena hakekatnya semua ajaran agama mengajarkan dan menganjurkan untuk berbuat baik, melarang kejahatan dan melakukan kerusakan, (3) Agree in disagreement (setuju dalam perbedaan) artinya seseorang mengakui ajaran agamanya sebagai yang paling benar tetapi dalam saat yang sama ia dituntut untuk berlapang dada menerima adanya agama lain yang diyakini kebenarannya oleh para pemeluknya didalamnya terdapat perbedaan sekaligus terdapat persamaan. Bpk juga menawarkan alternative aktivitas pembinaan agar semangat kerukunan dapat tercapai yakni (1) melaksanakan sosialisasi pemecahan masalah keberagamaan yang timbul dalam kehidupan masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku maka perlu meningkatkan peran Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di daerah, (2) dalam menyelesaikan permasalahan keberagamaan hendaknya mengedepankan asa musyawarah yang dilakukan secara adil dan proporsional, (3) menumbuhkembangkan pengertian dan pemahaman serta mendorong kerjasama antar umat beragama untuk membangun dan memelihara toleransi kerukunan umat beragama. Dalam akhir sambutannya Ahmad Rodli menyampaikan bahwa (1) dalam upaya mengoptimalkan pembinaan kerukunan umat beragama, pemerintah dalam hal ini Kantor Kemenag sangat perlu bermitra dengan FKUB daerah untuk melakukan pembinaan kerukunan umat beragama secara sinergis, terencana dan berkesinambungan, (2) dalam proses membina kerukunan umat beragama perlunya pendekatan-pendekatan yang tepat dengan pola kebijakan peraturan yang menjadi dasar kebijakan untuk menciptakan suasana kerukunan umat beragama, (3) Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) diharapkan selalu meningkatkan kualitas sumber daya manusianya sehingga mampu mengembangkan tujuan membina kerukunan umat beragama dengan prinsip sepakat dalam perbedaan (agree in disagreement).

Selain Kepala Kemenag Kabupaten Ngawi dari Badan Kesbang Pol Linmas yang dalam hal ini diwakili oleh Kabid Kesbang Drs. H. Harnu Sutomo, MM juga menyampaikan sambutannya. Dalam sambutannya Harnu menyampaikan bahwa Peran FKUB sesuai dengan Peratruan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri no. 8 dan no. 9 tahun 2006 sangat besar dalam rangka mengatasi permasalahan yang akhir-akhir ini muncul di masyarakat. Permasalahan yang paling krusial saat ini adalah menyangkut tata cara pendirian rumah ibadah dan ijin sementara pemanfaatan bangunan gedung. Oleh karena itu beliau berharap agar pengurus FKUB yang baru selalu berpegang pada aturan yang ada jika ada masyarakat yang mengajukan permohonan rekomendasi pendirian rumah ibadah maupun ijin sementara pemanfaatan bagunan gedung bukan rumah ibadah sebagai rumah ibadah sementara.

Terkait dengan reorganisasi pengurus FKUB di kabupaten Ngawi beliau menyatakan bahwa sesuai dengan pasal 8, ayat (2) Peratruan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri no. 8 dan no. 9 tahun 2006 yang intinya bahwa pembentukan FKUB dilakukan oleh masyarakat dan difasilitasi oleh pemerintah daerah. Jadi pada pertemuan tersebut peran Bakesbang pol linmas adalah sebagai fasilitator terbentuknya pengurus FKUB yang baru. Beliau juga menyampaikan data jumlah pemeluk masing-masing agama tahun 2010 di Kabupaten Ngawi, yakni sebagai berikut :

No Jumlah
penduduk Pemeluk Agama
Islam Kristen
katolik Kristen protestan Hindu Budha Konghu
chu
1 903.522 893.334 5130 4840 48 142 28

Sesuai pasal 10 Peratruan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri no. 8 dan no. 9 tahun 2006 ayat (2) bahwa jumlah anggota FKUB Kab/Kot paling banyak 17 orang, sedang ayat (3) menyatakan bahwa Komposisi keanggotaan FKUB propinsi dan Kab/Kot sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan perbandingan jumlah pemeluk agama setempat dengan keterwakilan minimal 1 (satu) orang dari setiap agama yang ada di propinsi dan Kab/Kot.

Dari data dapat dihitung komposisi keanggotaan FKUB sbb :
1. Jumlah pemeluk agama : 903,522 orang
2. Jumlah keanggotaan FKUB : 17 orang
3. Perwakilan dari masing-masing
Agama tiap anggota = 903.522 org : 17 : 53.148 orang

Dari perhitungan tersebut diatas maka komposisi kepengurusan FKUB di Kab. Ngawi periode 2011 s/d 2015 adalah sebagai berikut :

No Jumlah
penduduk Pemeluk Agama
Islam Kristen
katolik Kristen protestan Hindu Budha Konghu
chu
1 903.522 893.334 5130 4840 48 142 28
2 12 1 1 1 1 1

Pada kesempatan tersebut Ketua FKUB periode 2007 s/d 2010 yang diwakili oleh sekretarisnya yaitu sdr. H. Bahrun juga menyampaikan sambutannya. Dalam sambutannya beliau menyampaikan evaluasi keberadaan dan program FKUB Kab. Ngawi periode 2007 s/d 2010, yang intinya menyatakan bahwa program kerja FKUB belum berjalan dengan baik hal ini disebabkan karena (1) sulitnya mengadakan koordinasi sesama pengurus karena pengurus merasa keberadaan FKUB belum eksis, (2) belum dianggarkanya dana untuk FKUB di Pemkab Ngawi (3) adanya penilaian bahwa masalah agama sudah tercukupi oleh aparat yang berwenang. Selain melakukan evaluasi H. Bahrum juga menyampaikan draf program kerja FKUB untuk periode 2011 s/d 2015. Dalam draf tersebut kegiatan FKUB diarahkan ke 6 jenis kegiatan yakni (1) melaksanakan dialog; (2) menampung aspirasi; (3) menyalurkan aspirasi; (4) sosialisasi peraturan/perundang-undangan; (5) pemberdayaan masyarakat dan (6) evaluasi.

Adapun jalannya reorganisasi disepakati dalam memilih pengurus baru melalui formatur dan telah terpilih secara aklamasi 5 orang anggota formatur yaitu :
1. Drs. H. Bahrun
2. Drs. Sugiyanto
3. Drs. H. S. Romli Prihatin, SH
4. Drs. Suwarno
5. Setyo Hari Mustiko, SH

Setelah melalui rapat formatur terpilihlah pengurus FKUB di Kabupaten Ngawi Periode 2011 s/d 2015 yaitu sebagai berikut :
Ketua : Drs. H. Bahrun
Wakil Ketua I : Drs. Sugiyanto
Wakil Ketua II : Yoseph Priyadi, S.IPem
Sekretaris : Saeful Bakri, MPd
Wakil Sekretaris :Afif Abidin
Bidang-bidang :
a. Bidang Pemeliharaan :
1). Drs. H.S. Romli Prihatin, SH
2). Drs. Sunarno
3). Ny. Amar Rochmi. K

b. Bidang Pemberdayaan :
1). Drs. Mahfudzi, M Ag
2). Ny. Masruroh Anas
3). Supeno, SPd

c. Bidang Pendirian Rumah Ibadat :
1). H.M. Romadhon A. Karim, S.Ag
2). Ali Mustajab
3). Yannita Choirul Mu’minien
4). Filemon Jumar
5). Suwarto
6). I Gusti Putu Patra

“NGATOK” MERUPAKAN SIFAT PEJABAT YANG TIDAK BERMARTABAT

Pertanyaan kita kali ini adalah masih adakah pejabat yang memiliki kebiasaan Ngatok atau penjilat pada atasannya? Di era otonomi daerah ini jika kita perhatikan di lingkungan birokrasi terasa sekali aroma para pejabat yang ngatok pada Bupati/Walikota terpilih. Tidak tanggung-tanggung para pejabat yang ngatok ini memiliki jabatan yang lumayan tinggi kedudukannya bahkan tidak menutup kemungkinan merupakan eselon 2 di tingkat kabupaten/kota. Ngatok atau penjilat dalam lingkaran birokrasi biasanya merupakan orang-orang yang senang menebar fitnah dan sering memutar balikan fakta, membuat laporan yang asal bapak senang, menjatuhkan teman yang tidak sehaluan dengan kelompoknya melalui berbagai cara termasuk membuat fitnah tersebut. Orang yang ngatok atau penjilat ini jika sudah masuk lingkaran birokrasi dan diterima oleh atasannya maka orang tersebut menjadi sombong dan memiliki sifat Adigang, Adigung, Adiguna. Artinya, sifat menyombongkan diri pada kekuatan, kekuasaan, dan kepandaian yang dimiliki karena kedekatannya dengan Bupati/Walikota. Peribahasa Adigang, Adigung, Adiguna ini mengingatkan bahwa kelebihan seseorang sering membuat sombong, lupa diri, sehingga berdampak buruk bagi yang bersangkutan maupun orang lain. Paling tidak perilaku ini menjadikan suasana kehidupan orang lain atau masyarakat sekitarnya menjadi kurang nyaman. Perlu untuk dijadikan renungan bagi para pejabat yang memiliki sifat tersebut karena dapat mengakibatkan kehancuran baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain, paling tidak dia akan dikucilkan, minimal dirasani, menjadi bahan pergunjingan atau pembicaraan negatif di lingkup pergaulannya.

Sifat ngatok yang dilakukan pejabat kepada Bupati/Walikota juga sangat merugikan pemerintah daerah itu sendiri karena pejabat tersebut biasanya memiliki kegemaran membuat laporan “asal bapak senang” (ABS). Memang sudah selayaknya kalau seorang bawahan harus tunduk kepada pejabat diatasnya dan sudah sepatutnya jika anak buah ingin memberikan karya dan laporan perfect pada atasannya serta sudah sewajarnya kalau bawahan memberikan laporan kinerja secara sempurna sehingga atasan menjadi senang. Tunduk dan patuhnya seorang bawahan pada pejabat di atasnya adalah hukum sebab-akibat dan mutlak dalam konsep menejemen. Semua ini akan menjadi baik apabila apa yang disampaikan bawahan kepada pimpinannya merupakan hal yang benar atau sesuai dengan apa yang terjadi dilapangan. Namun akan menjadi hancur tatkala bawahan hanya membuat laporan asal bapak senang yang mana bawahan membuat laporan tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan, targetnya hanya menyenangkan atasan seusai membaca laporan. Celakalah pemerintah daerah yang memiliki pejabat hanya mengedepankan kepentingan pribadinya dengan membuat laporan asal bapak senang, dan lebih celaka lagi apabila pemimpin yang menerima laporan memiliki sikap mental yang malas terjun langsung ke lapangan untuk mengecek, mengontrol progres/hasil kerja bawahannya, namun menjadikan laporan bawahannya sebagai bahan untuk mengambil sebuah kebijakan. Karena itu marilah kita kawal bersama sama dengan cara memberi masukan-masukan kepada Bupati/Walikota tentang data yang sesuai dengan apa yang terjadi di lapangan sehingga diharapkan kebijakan yang dibuat tidak hanya berdasarkan laporan pejabat namun juga memperhatikan fakta yang ada di lapangan. Jika ini terjadi maka rakyatlah yang akan menikmati hasilnya dan sebaliknya apabila kebijakan yang diambil tidak sesuai dengan data di lapangan maka terlantarlah rakyat yang dipimpinnya.

Sifat ngatok yang dilakukan para pejabat dapat mengakibatkan mandegnya kreativitas dan bahkan membuat disiplin pegawai rendah. Mengapa? Hal ini bisa terjadi disebabkan karena pengangkatan pejabat di tingkat kabupaten/kota yang asal-asalan yang pasti berasal dari kelompok pejabat yang ngatok tersebut jadi bukan atas dasar kompetensi yang dimiliki oleh pejabat tersebut. Dari sini tentunya bisa dimengerti jika pegawai yang ada akan malas bekerja karena karier yang tidak jelas dan akhirnya akan membunuh kreativitas pegawai tersebut. Kekurang disiplinan tersebut disebabkan karena tidak ada perbedaan antara pegawai yang disiplin dan pegawai yang tidak disiplin karena karier ditentukan bukan karena kompetensi tapi siapa yang dekat dengan kelompok orang-orang yang ngatok tadi.

Sifat ngatok berikutnya ini yang paling mengerikan, yaitu pejabat tersebut masih memiliki sifat feodal yakni cara memimpin dengan menggunakan pendekatan kekuasaan. Pemimpin gaya feudal biasanya senang jika ada bawahan yang menjilat dan selalu ingin dihormati bahkan gila hormat, marah jika ada bawahan yang memiliki pengetahuan melebihi pimpinan apalagi berani mengoreksi kebijakan atasannya. Sudah saatnya orientasi kepemimpinan birokrasi yang bersifat feodalistik diubah ke arah kepemimpinan transformasional. Walapun saat ini kepemimpinan yang bersifat transformasional sudah mulai terjadi di era otonomi daerah namun masih banyak juga pejabat yang belum menerapkannya yakni pejabat yang senang ngatok tersebut. Sudah saaatnya pemimpin yang senang ngatok untuk dihilangkan dari bumi pertiwi tercinta ini karena pejabat ngatok merupakan sumber malapetaka yakni melestarikan buadaya Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN). Lebih buruk lagi apabila budaya ngatok secara umum sudah diketahui di lingkungan kerjanya maka tujuan kerja sudah bukan tujuan bersama lagi, tapi tujuan untuk menaikkan pamor seseorang (Pemimpin yang suka bila bawahanya menjilat). Jadi kalau sudah begini hancurlah pemerintah daerah tersebut karena pejabat pasti tidak bekerja secara professional lagi namun mencari jalan untuk melanggengkan posisi kelompoknya dan akhirnya berujung pada penistaan terhadap kepentingan rakyat yang dipimpinnya.

Masih bermartabatkah pejabat yang suka ngatok tersebut? Tentunya jika dirasakan oleh orang yang normal jawabannya pasti pejabat tersebut sudah tidak bermartabat lagi karena akibat yang ditimbulkan dari ulahnya banyak menimbulkan kerugian, baik secara personal maupun kepentingan masyarakat luas. Sekali lagi pejabat ngatok ini perlu dimusnahkan dari bumi tercinta ini. Semoga ada pejabat ngatok membaca artikel ini dan menjadi sadar serta kembali ke jalan yang benar sehingga kepentingan rakyatlah yang menjadi utama. Aminn.

PERINGATAN KERAS ! WASPADAILAH DAMPAK NEGATIF NARKOBA

Mari kita perhatikan sejenak, akhir-akhir ini kerap kali kita dikagetkan atas berita penangkapan artis karena tersangkut masalah narkoba. Mulai dari Vivaldi Surya Permana alias Rivaldo kembali ditangkap untuk kedua kali dalam kasus narkoba di Jalan S Parman, Jakarta, dengan barang bukti 50 gram sabu pada tanggal 20 Juli 2010 disusul Padi Surendro Prasetyo alias Yoyo ditangkap oleh petugas Direktorat Narkotika Badan Reserse Kriminal tanggal 27 Februari 2011 di Apartemen Sudirman Park, Jakarta; Pada tanggal 8 Maret 2011 Ratna Fairuz alias Iyut Bing Slamet ditangkap Direktorat Narkoba Bareskrim Polri. Ia kedapatan membawa sabu 0,4 gram. Iyut dapat dijerat ancaman hukuman penjara maksimal 12 tahun kemudian disusul berikutnya seluruh personel Kangen Band dikabarkan diamankan oleh petugas Direktorat IV Narkoba dan kejahatan terorganisir, Mabes Polri Jumat tangga 11 Maret 2011. Mereka ditangkap dari Base Camp mereka di kawasan Cibubur, Jakarta Timur karena diduga tersangkut kasus narkoba. Dari sini dapat kita simpulkan bahwa Peredaran Narkoba merupakan jaringan yang sudah merambah tidak saja pada rakyat biasa namun para selebritis yang menjadi panutan kawula muda juga ternyata sebagai pengguna barang haram tersebut. Sungguh menakutkan rasanya orang yang seharusnya menjadi contoh itu malah menjadi sampah yang harus segera dibakar, karena kalau tidak perbuatan tersebut takutnya akan menular atau ditiru oleh fans atau penggemar mereka. Hal itu mungkin saja dapat terjadi kebanyakan orang mencontoh dari apa yang mereka lihat, khususnya para pelajar yang masih berpikiran pendek.

Kemudian disusul berita yang sangat mengejutkan bagi kita semua seorang Kepala Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, dengan lima anak buahnya ditengarai bermain dengan Narkoba di dalam lapas. Seorang pejabat yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam memberantas peredaran narkoba malah terlibat dalam peredaran narkoba itu sendiri. Marwan sang kepala Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan tersebut ditangkap atas tuduhan permukatan jahat lantaran telah memberikan berbagai kemudahan dan menerima imbalan atas tindakannya dari Bandar narkoba yang menjadi penghuni rutan yang dibinanya.

Dari kasus-kasus diatas mari kita hindari barang yang disebut Narkoba tersebut karena dampaknya akan membuat si pemakai dan orang lain disekitarnya menjadi terganggu. Pada kesempatan yang baik ini penulis akan menyajikan dampak negative penggunaan narkoba semoga pembaca tidak terjerumus ke dalam lingkaran narkoba.

Sebelum kita uraikan dampak negative dari narkoba, berikut ini adalah hal-hal yang perlu kita ketahui tentang Narkoba agar kita tidak terjerumus ke lembah hitam yang dapat merugikan pribadi dan keluarga.

A. JENIS-JENIS NARKOBA
1. Narkotika
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan dari tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangnya rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. Jenisnya Narkotika yang sering disalah gunakan antara lain : ganja, kokain, morfin dan heroin.

2. Psikotropika.
Psikotropika adalah zat atau obat yang alamiah ataupun sintetis, buka Narkotika yang dapat mempengaruhi psikis melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat otak menyebabkan perubahan pada aktivitas mental dan perilaku. Jenis Psikotropika yang disalah gunakan : ecstasy, amfetamin, hipnotikum, sedativum.

3. Zat Adiktif.
Zat adiktif adalah bahan-bahan aktif atau bukan obat Narkotika atau Psikotropika yang bila disalahgunakan dapat menimbulkan ketergantungan. Apabila dihentikan akan timbul efek putus zat, antara lain rasa sakit atau rasa lelah yang luar biasa. Contoh zat adiktif adalah minuman beralkohol dan tembakau/rokok.

B. CIRI-CIRI KETERGANTUNGAN NARKOBA
1. Sifat mudah kecewa dan kecenderungan menjadi agresif dan destruktif;
2. Perasaan rendah diri;
3. Tidak bias menunggu atau bersabar secara berlebihan;
4. Suka mencari sensasi, melakukan hal-hal yang mengandung resiko bahaya yang berlebihan;
5. Cepat menjadi bosan dan merasa tertekan, murung dan merasa tidak sanggup berfungsi dalam kehidupannya sehari-hari;
6. Mengalami hambatan atau penyimpangan psikoseksual dengan akibat kegagalan membentuk identifikasi seksual yang memadai;
7. Keterbelakangan mental terutama yang tergolong pada taraf perbatasan;
8. Kurangnya motivasi atau dorongan untuk mencapai suatu keberhasilan dalam pekerjaan serta dalam lapangan kegiatan lainnya;
9. Cenderung memiliki gangguan jiwa seperti kecemasan, obsesi, apatis, menarik diri dalam pergaulan, depresi, kurang mampu menghadapi stress atau sebaliknya hiperaktif;
10. Adanya perilaku yang menyimpang seperti hubungan seksual pada usia dini, perilaku anti social pada usia sangat dini seperti tindak kekerasan atau mencuri, agresivitas, sering mencuri, sering berbohong dan kenakalan remaja lainnya;
11. Suka tidak tidur pada malam hari atau tidur larut malam;
12. Kurang suka olahraga;
13. Cenderung makan berlebihan;
14. Mempunyai persepsi bahwa hubungan dalam keluarga kurang dekat walaupun seringkali kenyataan tidak demikian;
15. Adanya anggota keluarga lain yang tergolong peminum alcohol yang berat atau pemakai obat secara berlebihan; berkawan dengan orang yang tergolong peminum berat atau pemakai obat secara berlebihan;
16. Sudah mulai merokok pada usia yang lebih dini daripada rata-rata perokok lainnya;
17. Kehidupan keluarga atau dirinya kurang religious.

C. DAMPAK NEGATIF PENYALAHGUNAAN NARKOBA
Dampak negative penyalahgunakan narkoba dapat berupa gangguan kesehatan baik jasmani, rohani/kejiwaan, maupun social yang bersangkutan. Berat ringannya gangguan yang timbul tergantung dari kuantitas dan kualitas pengguna narkoba serta jenis narkoba yang dipakai.

1. Dampak Jasmani
Gangguan jasmani yang timbul akibat pemakaian Narkoba, terutama jenis suntikkan, karena yang bersangkutan biasanya tidak tahu masalah sterilitas, atau tidak ada rasa peduli lagi terhadap akibat yang akan timbul dari penggunaan penyalahgunaan tersebut. Gangguan tersebut antara lain : gangguan terhadap urat syaraf dapat bedrubah kejang-kejang dan penurunan kesadaran; gangguan pada system vaskuler dapat berubah infeksi otot jantung yang fatal; gangguan pada kulit dapat berubah timbulnya infeksi (seperti abses/nanah dibawah kulit) dan alergi; gangguan system pernapasan berupa infeksi paru-paru yang sangat fatal dan perunan fungsi pernapasan; gangguan system pencernaan berupa diare, radang usus dan hati (Hepatitis B dan C); gangguan pada fungsi seksual reproduksi dan lain-lain.

Gangguan yang fatal dan dapat membahayakan orang lain adalah terjadinya infeksi HIV/AIDS karena bila seorang pengguna narkoba terinfeksi HIV, yang bersangkutan tidak menunjukan gejala-gejala dalam waktu tahunan sementara dapat menularkan ke orang lain dengan mudah melalui pemakaian jarum suntik bersama atau melalui hubungan seksual.

2. Dampak rohani/kejiwaan
Pemakaian alcohol, obat penenang dan obat tidur dapat menimbulkan perubahan pada kehidupan mental emosional yang diwujudkan dengan perilaku yang tidak wajar, tindak kekerasan, perusakan, percobaan bunuh diri, penurunan motivasi, daya piker, kreasi dan emosi.

3. Dampak social
Dampak social penyalahgunaan narkoba timbul karena adanya gangguan mental emosional pengguna Narkoba tersebut sebagian anggota masyarakat, baik di tempat tinggal atau dilingkungan kerjanya. Akibat timbulnya kelainan perilaku atau penurunan kualitas hidupnya, maka yang bersangkutan akan disingkirkan dari lingkungannya. Akibat lebih lanjut yang bersangkutan lebih buruk lagi perilakunya, baik ditempat tinggal, gangguan lain dimana ia berada. Oleh karena itu, masyarakat dan lingkungan dimana ia berada akan merasa terganggu.

Selasa, 12 April 2011

BIAYA PENDIDIKAN MENCEKIK RAKYAT KECIL

Ngawi, 12 April 2011.
Terasa mencekik terutama rakyat kecil yang hidup di pinggiran hutan atau dikolong jembatan di ibukota, ketika lembaga pendidikan digunakan oleh oknum pengelolanya untuk dikomersialkan. Memang tidak bisa kita pungkiri bahwa pendidikan merupakan sarana yang dapat meningkatkan kualitas hidup dan jaminan hidup seseorang di kemudian hari. Oleh karena itu banyak orang tua yang berusaha dengan semaksimal mungkin untuk dapat menyekolahkan putra-putrinya ke sekolah-sekolah yang terbaik menurut mereka agar mendapatkan pendidikan yang terbaik pula. Namun perlu mendapat perhatian kita semua bahwa masih banyak masyarakat kita yang tingkat kesejahteraannya masih dibawah standar kelayakan hidup. Jangankan untuk memikirkan biaya pendidikan sekolah, untuk biaya makan sehari-hari saja sulit untuk dipenuhi dan harus bekerja keras untuk mendapatkannya. Apalagi dengan adanya issue lewat dialog yang dilakukan televisi tentang naiknya harga BBM saat ini menjadikannya kebutuhan untuk hidup semakin tidak terjangkau lagi.

Kenapa biaya pendidikan bisa meroket di bumi kita tercinta ini? Padahal menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang sisdiknas anggaran pendidikan di Negara kita ini sebesar 20% dari APBN, untuk apa uang sebesar itu? Mari kita lihat komponen biaya pendidikan yang biasanya ditarik oleh pihak sekolah yang membikin biaya pendidikan tidak terjangkau lagi bagi masyarakat kecil.

Seragam sekolah.
Tahun Ajaran baru, seragam sekolah merupakan sasaran pertama yang mengakibatkan mahalnya biaya pendidikan. MENGAPA SERAGAM SEKOLAH? Siswa yang baru masuk ke sekolah tertentu diwajibkan memiliki seragam oleh pihak sekolah dengan dalih yang dibuat-buat sehingga orang tua terpaksa harus mengeluarkan uang untuk seragam tersebut dan celakanya harganya diluar nalar karena dibandingkan dengan yang ada di pasar malah lebih mahal. Tanpa disadari oleh pihak sekolah komponen seragam ini menjadi momok tersendiri bagi masyarakat kecil di tahun bajaran baru. Dan yang membuat celaka lagi selain seragam harian merah-putih untuk SD, biru-putih untuk SMP dan abu-abu putih untuk SMA serta seragam pramuka ada sekolah yang mewajibkan siswanya untuk memakai seragam khusus sekolah yang biasanya berupa seragam batik untuk dipakai pada hari-hari tertentu. Ini merupakan gagasan yang cerdas untuk menarik keuntungan. Gagasan siapakah ini? Dengan cara ini pihak sekolah telah sukses menambah beban rakyat kecil sehingga hidupnya sampai tercekik.

Biaya pengadaan buku.
Beban biaya sekolah yang yang mencekik rakyat kecil berikutnya adalah komponen buku. Akhir-akhir ini ada sinyalemen bahwa buku yang digunakan di sekolah adalah buku yang discount dari penerbit tinggi bukan mutu buku yang menjadi pertimbangan pertama dan utama. Dan parahnya lagi harus dibeli lewat sekolah yang notabene harganya lebih tinggi dibandingkan harga di toko buku. Mengapa demikian? Menurut rumor discount dari penerbit bisa mencapai 40%. Bukan main pandainya pengelola sekolah untuk mencekik rakyat kecil. Belum lagi tambahan biaya yang harus ditanggung oleh orang tua yakni pengadaan Lembar Kerja Siswa (LKS) yang harus dimiliki siswa. Jika kita cermati LKS ini tidak lain tuntunan yang menghasilkan suatu konsep, oleh karena itu seharusnya materi ini sudah menyatu pada buku matapelajaran. Sebetulnya pemerintah sudah membuat kebijakan dengan menyajikan buku system online hal ini ternyata belum bias menyelesaikan permasalahan mahalnya pengadaan buku karena pihak sekolah banyak yang tidak menggunakan buku tersebut tapi lebih memilih buku dari penertib tertentu yang harganya jelas sangat mahal.

Biaya rutin dan biaya incidental.
Biaya rutin sekolah yang harus dibayarkan setiap bulan, penggunaannya biasanya untuk operasional sekolah seperti pengadaan ATK, honorarium GTT/PTT dls. Pertanyaan kita dikemanakan dana BOS selama ini? Biaya insidental yang biasanya dibebankan kepada orangtua siswa satu tahun sekali yang besarnya juga tidak sedikit. Biaya ini biasanya diperuntukan untuk menambah ruang kelas; merehab bangunan sekolah yang sudah rusak; pengadaan sarana untuk meningkatkan mutu seperti computer, alat laboratorium dls; bahkan untuk operasional sekolah.

Biaya tak terduga.
Selain biaya tersebut diatas orang tua juga harus menyediakan biaya lainnya seperti biaya untuk study Tour, pelepasan siswa kelas 3, biaya untuk kegiatan memperingat hari-hari besar dls.

Dari keempat hal yang sudah disebutkan di atas dapat disimpulkan bahwa biaya pendidikan memang luar biasa besarnya dan mencekik rakyat kecil. Semoga para pengelola pendidikan khususnya pendidikan dasar (SD dan SMP) untuk memperhatikan situasi dan kondisi masyarakat sehingga dalam membuat kebijakan tidak seharusnya membebani masyarakat kecil.

BIROKRASI PENDIDIKAN BEBAS SUAP DAN KORUPSI MERUPAKAN DAMBAKAAN MASYARAKAT

Mengapa birokrasi pendidikan ? Karena karakteristik, watak, sikap hidup, pola pikir, kebiasaan hidup, pandangan hidup seseorang dibentuk melalui pergaulan hidup manusia dalam komunitas keluarga dan lingkungan masyarakat (untuk peserta didik sangat dipengaruhi lingkungan tempat belajarnya dalam hal ini pergaulan di lingkungan sekolahnya). Dari sinilah kultur seseorang mulai dibentuk, apabila birokrasi pendidikan mulai dari pejabat di Dinas Pendidikan, Kepala Sekolah, Guru dan staf tata usaha di sekolah masih berperilaku suka suap dan korupsi maka pola hidup ini akan menjadi budaya di lingkungannya tidak terkecuali akan terimbas pada peserta didik yang sedang menimba ilmu di sekolah tersebut. Jika perilaku korupsi ini tidak diantisipasi maka kita tinggal menunggu hancurnya bangsa ini.

Sebelum membahas secara khusus tentang perilaku suap dan korupsi di kalangan birokrasi pendidikan ada baiknya kalau kita samakan dulu persepsi tentang suap dan korupsi. Suap (bribery) bermula dari asal kata briberie (Perancis) yang artinya adalah mengemis. Dalam kaitannya dengan suap yang kita bahas kali ini adalah pemberian atau hadiah yang diterima atau diberikan dengan maksud untuk mempengaruhi secara jahat atau korup. Bicara suap secara mendasar telah dimuat melalui Pasal 419 KUHP yang mengatur penyuapan pasif, yang mengancam pidana terhadap pegawai negeri karena gratifikasi, yaitu pemberian hadiah yang luas meliputi : pemberian uang, barang rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Sedangkan Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok). Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus|politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka

Perilaku suap dan korupsi yang masih ditunjukan oleh aparat birokrasi pendidikan diantaranya adalah :

Penyalahgunaan penggunaan dana BOS.
Perilaku korupsi ditunjukan oleh birokrasi pendidikan misalnya mengadakan sosialisasi BOS dengan diadakan disuatu tempat sehingga mengharuskan kepala sekolah dan bendahara BOS di sekolah untuk mengikuti dan menanggung biaya pelaksanaan yang besarannya juga tidak masuk akal. Pihak sekolah otomatis mengambil biaya tersebut dari uang BOS pada hal menurut pedoman penggunaan dana BOS dilarang untuk kegiatan tersebut. Namun pihak sekolah maupun birokrat pendidikan tidak kurang akal SPJ bisa diatur dengan membunyikan peruntukan yang lain, pokoknya bisa diatur sendiri oleh pihak sekolah dengan sepengetahuan pejabat dinas pendidikan. Bagi kepala sekolah yang takut bunyi SPJ tetap diperuntukan pelaksanaan sosialisasi BOS yang diadakan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten.

Perilaku korupsi dengan melanggara Permendiknas Nomor 2 tahun 2008 tentang buku.
Permendiknas nomor 2 tahun 2008 tentang buku, pasal 11 dengan tegas menyatakan bahwa “Pendidik, tenaga kependidikan, anggota komite sekolah/madrasah, dinas pendidikan pemerintah daerah, pegawai dinas pendidikan pemerintah daerah, dan/atau koperasi yang beranggotakan pendidik dan/atau tenaga kependidikan satuan pendidikan, baik secara langsung maupun bekerjasama dengan pihak lain, dilarang bertindak menjadi distributor atau pengecer buku kepada peserta didik di satuan pendidikan yang bersangkutan atau kepada satuan pendidikan yang bersangkutan, kecuali untuk buku-buku yang hak ciptanya sudah dibeli oleh Departemen, departemen yang menangani urusan agama, dan/atau diperdagangkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1).

Dilapangan terjadi pelanggaran pasal tersebut karena banyaknya kepala sekolah/koperasi sekolah/guru yang tetap masih menjadi distributor buku yang langsung dijual kepada peserta didik di sekolah tersebut, hal bisa dipahami karena discont untuk penjualan buku ini tidak kecil yakni 40%.

Perilaku korupsi dengan melanggar PP nomor 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.
Pasal 181, PP no. 17 tahun 2010 menyatakan bahwa “Pendidik dan tenaga kependidikan, baik perseorangan maupun kolektif, dilarang” :
a. menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam, atau bahan pakaian seragam di satuan pendidikan;
b. memungut biaya dalam memberikan bimbingan belajar atau les kepada peserta didik di satuan pendidikan;
c. melakukan segala sesuatu baik secara langsung maupun tidak langsung yang menciderai integritas evaluasi hasil belajar peserta didik; dan/atau
d. melakukan pungutan kepada peserta didik baik secara langsung maupun tidak langsung yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sebagai contoh kasus yang melanggar PP no. 17 tahun 2010 ini adalah penjualan bahan pakaian seragam yang dilakukan oleh pihak sekolah dengan mengatasnamakan koperasi, pada hal sesuai dengan bunyi pasal 181 butir a pendidik dan tenaga kependidikan baik perseorangan maupun kolektif termasuk koperasi dilarang untuk menjual bahan pakaian seragam. Penjualan bahan pakaian seragam ini memang merupakan salah satu poin yang memberatkan masyarakat, hal ini disebabkan karena bahan pakaian yang dijual pihak sekolah harganya jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga pasar. Mengapa? Tentu bisa kita mengerti dengan dalih ingin menyeragamkan pakaian peserta didik tentunya merk dari jenis kain harus sama, dengan demikian bisa dipesankan secara bersama-sama. Logikanya jika dipesankan secara bersama-sama harganya seharusnya jauh lebih murah dibandingkan jika beli sendiri-sendiri, namun kenyatakannya harga pasar dengan jenis kain yang sama lebih murah 35%. Bisa kita tebak laba 35% ini dikemanakan?, tentunya untuk bancakan pejabat dari tingkat atas sampai ke tingkat sekolah.

Minggu, 10 April 2011

SARASEHAN WAWASAN KEBANGSAAN DAN CINTA TANAH AIR

Lembaga Swadaya Masyarakat “Duta Bangsa Institut” Ngawi, Jawa Timur bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Kesatuan Kebangsaan dan Politik, Kementerian Dalam Negeri pada hari Sabtu, tanggal 26 Maret 2011 bertempat di Aula RM Bondowoso Ngawi mengadakan sarasehan wawasan Kebangsaan Dan Cinta Tanah Air dengan tema “Membangkitkan Rasa Nasionalisme dan Patriotisme”. Kegiatan tersebut disambut antusias yang luar biasa oleh peserta yang terdiri dari berbagai elemen masyarakat yang ada di Kabupaten Ngawi. Kegiatan tersebut dibuka oleh perwakilan dari Direktorat Jenderal Kesatuan Kebangsaan dan Politik, Kementerian Dalam Negeri dan dilanjutkan dengan paparan materi dari para nara sumber yang terdiri dari staf pengajar di Fakultas Ilmu Budaya UNAIR Surabaya sdr. Zakiyatul Mufidah dan Kepala Bidang Kesatuan Bangsa, Badan Kesbang Pol Linmas Kabupaten Ngawi sdr. Harnu Sutomo. Berikut ini kami sampaikan makalah dari kedua nara sumber tersebut :

A. NASIONALISME DAN PENINGKATAN KUALITAS KEHIDUPAN BERBANGSA (Oleh: Zakiyatul Mufidah)
Nasionalisme dan perkembangannya
Definisi nasionalisme terus berkembang sejalan dengan perubahan dan konteks zaman. Nasionalisme secara harfiyah dapat diartikan sebagai sikap atau jiwa yang mencintai dan rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan Negara. Pada masa penjajahan, jiwa nasionalisme tumbuh karena satu keinginan yaitu mengusir penjajah dan dapat hidup bebas merdeka. Bukan hanya di Indonesia, semangat nasionalisme hamper secara kompak muncul ditengah rakyat yang tertindas oleh penjajah pada era sebelum dan saat Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955. Semangat untuk hidup merdeka bebas dari belenggu penjajah begitu besar muncul di sanubari rakyat di Negara-negara Asia dan Afrika yang saat itu mayoritas masih terjajah oleh bangsa Eropa dan Amerika. Sehingga jiwa nasionalisme yang mereka miliki sangat berkontribusi besar bagi kemerdekaan mereka sendiri.

Jika dilihat dari segi internal dan psikologis, nasionalisme dapat juga diartikan sebagai dorongan kuat yang muncul untuk mencapai tujuan nasional dengan mengesampingkan factor-faktor ekstern seperti perbedaan agama, golongan, dan kepentingan pribadi. Singkatnya, nasionalisme yang telah dimiliki oleh masyarakat mampu mengalahkan kekuatan apapun diluar satu tujuan yang mereka idamkan yaitu kemerdekaan dan kedaulatan. Dengan kata lain, tidak ada kekuatan yang lebih besar selain dorongan untuk membela Negara dan tanah airnya karena jiwa nasionalisme tersebut muncul dari kekuatan batin dan psikologis yang mampu menggerakan factor lahir maupun fisik.

Dalam perkembangannya, nasionalisme terhadap bangsa bukan hanya sekedar membela dan mempertahankan bumi dan airnya atas belenggu penjajah, namun nsionalisme mengalami pergeseran makna dan aplikasi manakala tidak ada lagi penjajahan, manakala Negara sudah merdeka, mapan dalam aspek kemerdekaan dan kedaulatan. Penjajahan bukan lagi berbentuk fisik dan strategi, namun penjajahan hari ini menjelma dalam bentuk yang lebih halus dan Nampak menggairahkan, yaitu penjajahan mental dan psikis yang hamper sulit untuk dibendung. Kecintaan kepada Negara dan Bangsa sendiri perlahan mulai luntur, nasionalisme tersingkir dan tergantikan oleh paham-paham “isme” lain yang muncul akibat konstalasi global, seperti individualism, kapitalisme, oportunisme, materialisem bahkan hedonism.

Nasionalisme dalam konteks hari ini
Membaca situasi hari ini, posisi nasionalisme memang tidak lagi dominan dalam mewarnai berbagai aspek kehidupan bangsa. Semangat mengedepankan kepentingan nasional semakin terpinggirkan oleh semakin tingginya tingkat individualism masyarakat dan bangsanya. Ditambah lagi, berbagai macam persoalan social, politik dan ekonomi yang menghimpit kehidupan masyarakat semakin membuat masyarakat lebih memilih menutup mata terhadap apa yang sedang dialami oleh bangsa ini, parahnya tidak jarang masyarakat yang bersikap apatis dan lebih peduli pada kehidupan pribadi masing-masing.

Belakang, nasionalisme santer didengung-dengungkan setelah berbagai macam isu dan persoalan pelecehan terhadap bangsa dialami oleh bangsa kita. Mulai dari pencaplokan wilayah kedaulatan RI, perebutan produk budaya Indonesia seperti batik, berbagai macam tari-tarian daerah bahkan kuliner local Indonesia yang direbut dan berusaha dipatenkan oleh Negara lain. Timbulnya persoalan-persoalan tersebut disatu sisi memang menghawatirkan dan merugikan bagi bangsa kita, namun disisi lain, hal itu membawa dampak positif bagi mental dan tingkat kepekaan masyarakat kita. Dengan adanya permasalahan-permasalahan sengketa dengan Negara lain itu pula, membuat masyarakat Indonesia menjadi lebih aware terhadap bangsanya. Yang paling mutakhir adalah ajang kompetisi AFF beberapa waktu lalu berhasil membangkitkan bara nasionalisme bangsa Indonesia yang sempat padam. Besarnya dukungan dari semua kalangan dan lapisan masyarakat menunjukan bahwa semangat nasionalisme ingin membela dan menunjukan prestasi bangsa di tingkat internasional sangat luar biasa. Bagaimana tidak, ratusan ribu masyarakat Indonesia dengan kompak tanpa diatur atau bahkan disuruh memberikan dukungan yang begitu luar biasa kepada tim garuda. Hal semacam ini memang tidak ada kamus dan rumusnya. Karena nasionalisme adalah persoalan panggilan jiwa yang tidak bisa direkayasa.

Dalam konteks hari ini, nasionalisme ternyata sangat penting untuk meningkatkan kualitas kehidupan bangsa disegala lini. Nasionalisme yang besar sudah terbukti mampu menjadi senjata ampuh untuk mencapai tujuan yang diharapkan, paling tidak panggilan jiwa nasionalisme ini mampu menjadi sugesti positif dan dampak moral (moral implication) yang begitu menmgagumkan untuk melakukan sebuah perubahan.

Dalam konteks ekonomi, jika nasionalisme yang muncul dalam dunia olah raga (sepak bola) Indonesia, juga dilakukan di bidang ekonomi tentu akan membawa dampak yang positif pula. Jika masyarakat secara bersama-sama termasuk pemerintahnya mempunyai jiwa nasionalisme untuk membebaskan bangsa Indonesia dari belenggu kapitalis global dan jajahan ekonomi Negara-negara besar, tidak menutup kemungkinan Indonesia akan merdeka dari segala bentuk “pemiskinan” dan keterbelakang, namun sampai saat ini nasionalisme dalam konteks membangkitkan ekonomi bangsa belum juga muncul secara massif. Banyak golongan yang lebih mengedepankan nasionalisme untuk keuntungan komunitasnya sendiri.

Demikian halnya dengan nasionalisme dalam konteks politik, social dan budaya bangsa. Berbagai macam aspek kehidupan tersebut hingga hari semakin menunjukan kepurukan dan ketidakberdayaannya. Secara politik, bangsa kita belum bias berpikir dewasa, segala bentuk kebijakan pemerintah masih terkontaminasi oleh semangat “menguntungkan” golongan tertentu saja, bahkan dalam kacamata yang lebih global, banyak kebijakan politik kita yang masih malu-malu, terhegemoni, dan terkesan tunduk pada pengaruh yang menguntungkan Negara-negara yang jauh sudah lebih kaya dan mapan. Nasionalisme untuk melakukan perombakan secara politik belum cukup kuat untuk melakukan perubahan yang lebih baik, masih diperlukan kerja keras dan rangsangan lebih besar agar nasionalisme masyarakat terutama para pejabat mampu memberikan kontribusi positif bagi kehidupan politik di Indonesia.

Menumbuhkan jiwa nasionalisme
Menurut teori social, nasionalisme pada umumnya muncul secara spontan dengan adanya ancaman yang kemudian dianggap menjadi musuh bersama. Sehingga, masyarakatnya pun mempunyai kepentingan yang sama untuk memusnahkan musuh bersama tersebut. Dalam sejarahnya, nasionalisme yang telah muncul secara komunal tidak hanya mampu menaklukan musuh bersama namun juga mampu meleburkan segala macam bentuk perbedaan. Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah, apakah memunculkan jiwa nasionalisme harus menunggu datangnya musuh bersama?

Jiwa nasionalisme sebenarn ya dapat dibentuk melalui beberapa proses yang dapat menstimulasi tumbuhnya kecintaan dan rasa peduli untuk membela kepentingan nasional. Pertama, meningkatkan sense of belonging atau rasa memiliki kepada bangsa sendiri. Kampaye tentang bangsa dan cinta kepada produk sendiri tentunya tidak cukup untuk meningkatkan sense of belonging ini, tetapi harus diimbangi dengan gelontoran-gelontoran semua produk nasional yang berkualitas sehingga masyarakat dengan sendirinya merasa bangga dan percaya diri menggunakan produk dalam negeri. Kedua, penciptaan nation image yang lebih positif. Artinya, ketimbangmempublikasikan dan memborbadir masyarakat dengan berbagai macam berita tentang keruwetan dan kekacaubalauan negaraini, oinformasi tentang prestasi dan pencapaian bangsa yang positif juga harus di blow up dengan seimbang. Ketiga, penguatan budaya local untuk diangkat sebagai budaya nasional. Dalam hal ini bukan budaya secara fisik, melainkan budaya mental local yang berujung pada nasionalisme yaitu toleransi dan gotong royong. Jika mental local semacam ini sudah membudaya secxara nasional tentu semangat nasionalisme akan semakin besar. Keempat, ada perubahan sikap perilaku pemimpin dan pejabat Negara, ini sangat penting untuk mengakhiri sikap geram dan keacuhan masyarakat pada persoalan nasional. Para elit dan pemimpin harus bias membuktikan bahwa apapun yang dilakukan oleh Negara adalah untuk kepentingan semua bukan semata sandiwara para penguasa untuk mengambil keuntungan sendiri. Jika para penguasa mampu turun dan bersama-sama membenahi mental dan fisik bangsa tentu nasionalisme akan benar-benar terwujud bukan hanya berakhir pada tulisan di slogan.

B. MEMBANGKITKAN RASA NASIONALISME DAN PATRIOTISME MELALUI PENYEGARAN KEMBALI PAHAM, RASA DAN SEMANGAT KEBANGSAAN (Oleh: Harnu Sutomo)

PERLUKAH WAWASAN KEBANGSAAN DITANAMKAN KE SETIAP INSAN WARGA NEGARA INDONESIA ?

PERLU; MENGAPA ?
Karena wawasan kebangsaan belum meragasukma secara terpadu dalam setiap diri warga negara Indonesia sehingga pola kehidupan dan pergaulan antar sesama warga negara mudah disulut oleh potensi perbedaan.

1. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk terdiri dari berbagai suku, ras, adat istiadat, bahasa, budaya, agama dan kepercayaan. Bila keragaman itu tidak terikat kuat, maka perpecahan bangsa menjadi risiko kehidupan yang memperlemah identitas bangsa Indonesia.
2. Gejala disintegrasi bangsa yang kerap terjadi merupakan bukti dari adanya kesalahan kebijakan dan manajemen kehidupan bangsa yang mengakibatkan ketidakpuasan masyarakat terhadap pengelolaan Negara, hal ini disebabkan pemahaman terhadap wawasan kebangsaan sudah mulai hilang dari kehidupan bangsa ini.
3. Ikatan niai-nilai kebangsaan yang selama ini terpatri kuat dalam kehidupan bangsa Indonesia yang merupakan pengejawantahan dari rasa cinta tanah air, bela negara, serta semangat patriotisme bangsa mulai luntur dan longgar bahkan hampir sirna.
4. Nilai-nilai budaya gotong royong, kesediaan untuk saling menghargai, dan saling menghormati perbedaan, serta kerelaan berkorban untuk kepentingan bangsa yang dahulu melekat kuat dalam sanubari masyarakat yang dikenal dengan semangat kebangsaannya sangat kental terasa makin menip
5. Rasa persatuan sebagai bangsa Indonesia mulai luntur, hal ini terlihat bahwa Kebijakan otonomi daerah cenderung diartikan sebagai penguasaan atas jabatan dan aset-aset di daerah yang bernilai ekonomi hanya oleh putra asli daerah. Sementara itu, demokrasi diartikan sebagai kebebasan tanpa batas untuk memaksakan kehendak sekelompok orang. Sebagai salah satu akibatnya, maka tumbuhlah gejala primodialisme dan separatisme, di mana setiap daerah cenderung mengutamakan kepentingan masing-masing dan saling menonjolkan sifat kedaerahan secara sempit, berkembangnya sentimen negatif antardaerah dan antaretnis;

WAWASAN KEBANGSAAN
Cara pandang yang dilingkupi oleh paham kebangsaan, rasa kebangsaan dan semangat kebangsaan untuk mencapai cita-cita nasionalnya dan mengembangkan eksistensi kehidupannya atas dasar nilai-nilai luhur bangsa.

I. PAHAM KEBANGSAAN
Paham kebangsaan merupakan pemahaman rakyat serta masyarakat terhadap bangsa dan negara.

Kemajemukan adalah sebuah fenomena yang mustahil dihindari dalam suatu negara. Diantaranya adat istiadat, agama, suku, ras dan banyak lagi. Manusia menghadapi kenyataan adanya berbagai perbedaan dengan umatnya masing-masing.

Aspek-aspek dari Paham kebangsaan yang perlu diperhatikan :
1. Toleransi  menahan diri, bersikap sabar, membiarkan orang berpendapat lain, dan berhati lapang terhadap orang-orang yang memiliki pendapat berbeda.
2. Kejujuran  Mengakui, berkata atau memberikan suatu informasi yang sesuai kenyataan dan kebenaran

3. Keadilan  suatu sikap yang tidak memihak atau sama rata, tidak ada yang lebih dan tidak ada yang kurang, tidak ada pilih kasih ATAU dimana semua orang mendapat hak menurut kewajibannya

4. Integritas  bertindak konsisten sesuai dengan nilai-nilai, walaupun dalam keadaan yang sulit untuk melakukan hal tersebut DENGAN KATA LAIN satunya kata dengan perbuatan.

5. Akuntabilitas  sebuah konsep digunakan untuk menyatakan yang dapat dipertanggungjawabkan, yang dapat dipertanyakan, yang dapat dipersalahkan dan yang mempunyai ketidakbebasan

II. RASA KEBANGSAAN
Rasa kebangsaan merupakan salah satu bentuk rasa cinta yang melahirkan jiwa kebersamaan pemiliknya

Momen yang bisa kita manfaatkan sebagai momen pemersatu bangsa antara lain:
1. Ketika terjadi konflik perbatasan dengan negara tetangga (Malaysia), sebagian masyarakat Indonesia berbondong-bondong menyatakan kesediaan dirinya untuk menjadi sukarelawan ikut berperang melawan Malaysia bahkan sebagian sudah melaksanakan latihan kemiliteran secara mandiri;
2. Ketika budaya bangsa (lagu daerah, kesenian daerah, dsb) diklaim oleh bangsa lain (Malaysia) sebagai budaya mereka, masyarakat Indonesia melakukan protes keras terhadap tindakan negara tersebut;
3. Ketika warga negara Indonesia yang berada di negara asing (TKI, duta olah raga, dsb) mendapat perlakuan buruk/tidak sebagaimana mestinya, masyarakat Indonesia melakukan protes keras dan menuntut keadilan terhadap perlakuan tersebut
4. Kita tentu masih ingat, Pada penyelenggaraan Piala AFF 2010, seluruh bangsa Indonesia mendukung kesebelasan kebanggaan, Tim Nas sepakbola Indonesia. Tua-muda, laki-perempuan, semuanya berbondong-bondong ke Stadion GBK untuk menyaksikan dan mendukung tim kesayangan kita. Juga pemirsa di manapun di seluruh Indonesia, dengan antusias menyaksikan pertandingan yang disiarkan langsung oleh salah satu stasiun televisi swasta nasional. Demam tim sepakbola nasional Indonesia merambah hingga ke pelosok Indonesia. Di kafe-kafe, rumah makan, bahkan di lapangan di perumahan penduduk diselenggarakan acara nonton bareng

III. SEMANGAT KEBANGSAAN
Semangat kebangsaan atau nasionalisme, merupakan perpaduan atau sinergi dari rasa kebangsaan dan paham kebangsaan.
Dari semangat kebangsaan akan mengalir :
1. Rasa kesetiakawanan  Kesetiakawanan Sosial merupakan Nurani bangsa Indonesia yang tereplikasi dari sikap dan perilaku yang dilandasi oleh pengertian, kesadaran, keyakinan tanggung jawab dan partisipasi sosial sesuai dengan kemampuan dari masing-masing warga masyarakat dengan semangat kebersamaan, kerelaan untuk berkorban demi sesama, kegotongroyongan dalam kebersamaan dan kekeluargaan

2. Semangat rela berkorban,  kesediaan untuk berkorban demi kepentingan yang besar atau demi negara dan bangsa telah mengantarkan bangsa Indonesia untuk merdeka.

3. Menumbuhkan jiwa patriotisme  sikap dan perilaku seseorang yang dilakukan dengan penuh semangat rela berkorban utk kemerdekaan, kemajuan, kejayaan, dan kemakmuran bangsa. Seseorang yang memiliki sikap dan perilaku patriotik ditandai oleh rasa cinta pada tanah air.

Sikap patriotisme dapat diwujudkan dalam banyak hal. Wujud sikap patriotisme antara lain sebagai berikut:
1. Mencintai dan menggunakan produk dalam negeri
2. Tidak merusak lingkungan hidup
3. Ikut serta memelihara fasilitas umum
4. Ikut serta dalam pembangunan bangsa
5. Mentaati peraturan yang ada
6. Melestarikan budaya bangsa.

Rabu, 09 Maret 2011

BEDA ORANG BERILMU DENGAN ORANG BODOH

Tidak ada agama selain Islam, dan tidak ada kitab suci selain Al-Qur’an yang sedemikian tinggi menghargai ilmu pengetahuan, mendorong untuk mencarinya, dan memuji orang-orang yang menguasainya. Termasuk di dalamnya menjelaskan ilmu dan pengaruhnya di dunia dan akhirat, mendorong untuk belajar dan mengajar, Untuk mengenal diri kita dari kaca mata keilmuan dan pengamalannya, orang itu terbagi menjadi empat karakter. Pertama, orang yang tahu, dan ia tahu bahwa dirinya tahu, dialah orang alim, maka bertanyalah (belajarlah) kepadanya. Kedua, orang yang tahu, tapi ia tidak tahu bahwa dirinya tahu. Inilah orang yang lupa. Maka ingatkanlah ia. Ketiga, orang yang tidak tahu, dan ia tahu bahwa dirinya tidak tahu. Inilah orang yang minta bimbingan, maka bimbinglah ia. Keempat, orang yang tidak tahu, tapi ia tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu, inilah orang bodoh.

Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman, “ . . . Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?....”(az-Zumar:9). Seperti yang diuraikan diatas bahwa orang yang berilmu jelas tidak sama dengan orang bodoh. Allah SWT membedakan antara orang yang berilmu dan orang yang jahil/bodoh. Terlepas dari substansinya ilmu pengetahuan, yang terpenting adalah antara orang yang berilmu dan orang yang bodoh jelas tidak sama. Seperti halnya antara orang buta dan orang yang melihat, kegelapan dan cahaya, orang yang hidup dan mati, serta antara penghuni surga dan penghuni neraka.

Dalam Al-Qur’an kita membaca, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba Nya hanyalah ulama” (Faathir:28). Orang alim (ulama) adalah cahaya bagi manusia lainnya. Dengan dirinyalah manusia dapat tertunjuki jalan hidupnya. Dengan redaksi yang membatasi, menggunakan kata innamaa ‘hanya’, berarti hanyalah ulama dari sekian hamba-Nya yang takut kepada Allah, yaitu mereka yang mengetahui keagungan-Nya dan memuliakan-Nya dengan semestinya. Orang-orang yang takut kepada Allah SWT akan mendapatkan ganjaran dari-Nya, “Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga ‘And yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.” (al-Bayyinah:8). Sedangkan orang bodoh menyatakan bahwa ulama sama saja dengan dirinya karena mereka memang tidak tahu sehingga apa yang ia perbuat condong berani menentang Allah SWT.

Ibnu Mas’ud berkata, “Cukup dengan takut kepada Allah sebagai ilmu, dan keberanian menentang Allah SWT sebagai kebodohan.”

Minggu, 06 Maret 2011

HANCURNYA PENDIDIKAN OLEH KAUM INTELEKTUAL DAERAH


Dalam konteks otonomi daerah, pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dimulai dari diterapkannya UU Nomor 22 tahun 1999 dan disempurnakan dengan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, yang pada hakikatnya memberi kewenangan dan keluasan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan.

Realisasi dari UU ini tentunya mengarah pada tanggung jawab pemerintah daerah yang semakin meningkat dan semakin luas. Pemerintah daerah dengan legitimasi UU ini diharapkan senantiasa meningkatkan kemampuannya dalam berbagai tahap pembangunan pendidikan sejak mulai tahap perumusan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan sampai pada tingkat pengawasan.

Tentu saja kewenangan besar yang dimiliki oleh daerah ini hanya akan bermanfaat apabila pemerintah daerah memiliki sumber daya manusia (SDM) yang memiliki kompetensi memadahi untuk membuat kebijakan-kebijakan yang akurat.

Namun yang terjadi dilapangan sangat berlawanan dengan harapan masyarakat luas, permasalahan pendidikan di tingkat Kabupaten di era otonomi semakin bertambah komplek. Hal ini disebabkan karena pengambil kebijakan/para intelektual di daerah kurang memahami pendidikan itu sendiri.

Dari hasil pemantauan menunjukan bahwa hambatan di bidang pendidikan yang dihadapi daerah sejak sebelum otonomi daerah hingga kini belum banyak bergeser. Persoalannya masih di sekitar permasalahan sarana dan prasarana pendidikan yang tidak lengkap, jumlah dan mutu tenaga yang kurang dengan ketersebaran yang tidak merata. Akibatnya, kegiatan belajar-mengajar yang mengarah pada upaya perbaikan hasil belajar sulit terwujud. Banyak pihak menilai pengelolaan pelayanan pendidikan dasar di era otonomi daerah tidak menunjukkan perobahan berarti, bahkan cenderung memburuk. Permasalahan ini juga perlu mendapat perhatian khusus dari para pemegang kekuasaan dengan cara menganggarkan DAU untuk pendidikan secara proposional, jangan hanya dengan jargon saja bahwa pendidikan merupakan prioritas utama namun kenyataannya dana pendidikan minim sekali. Ada pejabat daerah yang menyatakan bahwa alokasi dana untuk pendidikan sudah sangat besar tapi setelah kita cermati ternyata dana besar tersebut adalah dana dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah propinsi sedangkan dana yang dari pemerintah kabupaten nol besar.

Bupati dengan kewenangannya yang besar terkadang membuat suatu kebijakan yang tidak dilandasi atau didasarkan pada kemampuan melainkan unsur suka-tidak suka dan kedekatan personal. Sebagai contoh di salah satu Kabupaten propinsi Jawa Timur, seorang kepala UPT Dinas Pendidikan yang membidangi pendidikan di tingkat TK/SD diangkat menjadi Kepala Bidang Pendidikan Menengah yang mengurusi pendidikan SMP/SMA/SMK otomatis yang bersangkutan tidak memiliki kompetensi sesuai dengan jabatannya. Siapa yang salah? Bisa di tebak yang salah adalah yang mengangkat. Kemudian parahnya lagi setelah ada masukan dari masyarakat 2 bulan kemudian yang bersangkutan digeser lagi ke bidang lain, hal ini menunjukan kebijakan yang coba-coba dan ujungnya merugikan masyarakat banyak. Semoga hal-hal seperti tersebut tidak akan terjadi lagi.

Permasalahan lain juga muncul saat pengangkatan kepala sekolah, tidak jarang penguasa mengangkat/memberhentikan kepala sekolah bukan berdasarkan kemampuan tapi berdasarkan kedekatan personal atau siapa orangnya siapa, lebih parah lagi kalau dikaitkan dengan berapa saudara berani beli tempat tersebut. Hal ini sangat tidak baik bagi perkembangan dunia pendidikan di daerah. Perlu diketahui para pengambil kebijakan bahwa kepala sekolah merupakan unsur yang sangat menentukan maju mundurnya pendidikan oleh karena itu perlu dipertimbangkan dengan bijaksana agar masyarakat luas tidak dirugikan dan berujung pada peningkatan mutu sumber daya manusia di Kabupaten tersebut.

Permasalahan lain lagi misalnya perilaku birokrasi dan birokrat pendidikan di daerah masih belum bersikap seperti pamong, apalagi ketika Kabupaten menjadi otonom, cukup banyak pejabat publik pengurus pendidikan yang meskipun memenuhi syarat kepangkatan, sama sekali tidak memahami esensi pendidikan, hal ini akan menghancurkan pendidikan itu sendiri. Tolong penguasa untuk menempatkan orang jangan sampai dilandasi suka tidak suka melainkan kompetensi yang dimiliki oleh personil yang akan menempati pos tersebut.

Apabila permasalahan-permaslahan tersebut tidak mendapat perhatian maka ungkapan bahwa “negeri ini dihancurkan oleh kaum intelektualnya sendiri” mendekati kebenaran dan kita tinggal menunggu hancurnya sebuah generasi. Mari kita doakan semoga para intelektual daerah sadar dan segera berbuat untuk daerahnya.

Rabu, 02 Maret 2011

DI PUNDAK PENGAWAS SEKOLAH, MUTU PENDIDIKAN DIPERTARUHKAN

Mengapa pengawas sekolah memiliki tanggungjawab besar terhadap peningkatan mutu pendidikan ?
Judul tulisan di atas yang menaruh harapan besar tentang peningkatan mutu pendidikan di pundak pengawas sekolah sekiranya tidak terlalu berlebihan karena pengawas sekolah merupakan pejabat fungsional yang berkedudukan sebagai pelaksana teknis untuk melakukan pengawasan pendidikan terhadap sejumlah sekolah tertentu yang ditunjuk/ditetapkan dalam upaya meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar/bimbingan untuk mencapai tujuan pendidikan. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 12 Tahun 2007 tentang Standar Pengawas Sekolah/Madrasah menegaskan bahwa seorang pengawas harus memiliki 6 (enam) kompetensi minimal, yaitu kompetensi kepribadian, supervisi manajerial, supervisi akademik, evaluasi pendidikan, penelitian dan pengembangan serta kompetensi sosial. Untuk meningkatkan mutu pendidikan, pengawas dituntut keprofesionalannya untuk melaksanakaan tugas pokok dan fungsinya sesuai dengan kompetensinya karena tugas pengawas sangat erat kaitannya dengan penjaminan mutu pendidikan di suatu lembaga persekolahan. Namun kondisi di lapangan saat ini menunjukan bahwa masih banyak pengawas sekolah yang belum menguasai keenam dimensi kompetensi tersebut dengan baik. Survei yang dilakukan oleh Direktorat Tenaga Kependidikan pada Tahun 2008 terhadap para pengawas di suatu kabupaten menunjukkan bahwa para pengawas memiliki kelemahan dalam kompetensi supervisi akademik, evaluasi pendidikan, penelitian dan pengembangan.

Dilain pihak, usaha apapun yang telah dilakukan pemerintah mengawasi jalannya pendidikan untuk mendobrak mutu bila tidak ditindak lanjuti dengan pembinaan guru, kepala sekolah dan stakeholder lain yang ada disekolah maka tidak akan berdampak nyata pada kegiatan layanan di sekolah yang pada ujungnya tidak terjadi peningkatan mutu pendidikan yang berarti. Kegiatan pembinaan guru merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam setiap usaha peningkatan mutu pembelajaran, disinilah seharusnya pengawas memberikan perhatian khusus untuk melakukan pembinaan. Demikian juga peranan pengawas untuk memberikan inspirasi dan dorongan kepada kepala sekolah dan tenaga kependidikan lainnya untuk terus mengembangkan profesionalisme dan meningkatkan kinerja mereka sangat berpengaruh pada peningkatan mutu pendidikan. Bagi kepala sekolah, pengawas layaknya mitra tempat berbagi serta konsultan tempat meminta saran dan pendapat dalam pengelolaan sekolah. Sementara itu bagi guru, pengawas sekolah selayaknya menjadi ”gurunya guru” dalam memecahkan problema dan meningkatkan kualitas pembelajaran.

Atas dasar itu jelas bahwa peran dan fungsi pengawas dalam peningkatan mutu pendidikan sangat strategis, sehingga pengawas harus menyadari bahwa dirinya memiliki tanggungjawab yang besar dalam meningkatkan mutu pendidikan. 

Tidak semua pengawas mampu meningkatkan mutu pendidikan.
Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Direktorat Tenaga Kependidikan pada Tahun 2008 menunjukkan bahwa salah satu kelemahan para pengawas adalah terletak pada kompetensi supervisi akademik. Kompetensi tersebut meliputi : (1) Memahami konsep, prinsip, teori dasar, karakteristik, dan kecenderungan perkembangan tiap mata pelajaran dalam rumpun mata pelajaran yang relevan di sekolah menengah yang sejenis; (2) Memahami konsep, prinsip, teori/teknologi, karakteristik, dan kecenderungan perkembangan proses pembelajaran /bimbingan tiap mata pelajaran dalam rumpun mata pelajaran yang relevan di sekolah menengah yang sejenis; (3) Membimbing guru dalam menyusun silabus tiap mata pelajaran dalam rumpun mata pelajaran yang relevan di sekolah menengah yang sejenis berlandaskan standar isi, standar kompetensi dan kompetensi dasar, dan prinsip-prinsip pengembangan KTSP; (4) Membimbing guru dalam memilih dan menggunakan strategi/metode/teknik pembelajaran/bimbingan yang dapat mengembangkan berbagai potensi siswa melalui mata-mata pelajaran dalam rumpun mata pelajaran yang relevan di sekolah menengah yang sejenis; (5) Membimbing guru dalam menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) untuk tiap mata pelajaran dalam rumpun mata pelajaran yang relevan di sekolah menengah yang sejenis; (6) Membimbing guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran/bimbingan (di kelas, laboratorium, dan atau di lapangan) untuk tiap mata pelajaran dalam rumpun mata pelajaran yang relevan di sekolah menengah yang sejenis; (7) Membimbing guru dalam mengelola, merawat, mengembangkan dan menggunakan media pendidikan dan fasilitas pembelajaran/bimbingan tiap mata pelajaran dalam rumpun mata pelajaran yang relevan di sekolah menengah yang sejenis; (8) Memotivasi guru untuk memanfaatkan teknologi informasi dalam pembelajaran/ bimbingan tiap mata pelajaran dalam rumpun mata pelajaan yang relevan di sekolah menengah yang sejenis.

Sementara tidak efektifnya pengawas sekolah berdasarkan pengamatan dan analisis patut diduga yang menjadi penyebab rendahnya kinerja pengawas (perilaku kepengawasan) antara lain belum terpenuhinya standar kompetensi pengawas yakni salah satunya adalah kompetensi supervisi akademik tersebut diatas. Berdasarkan masukan dari berbagai pihak kelemahan pengawas di lapangan terletak pada kemampuan pengawas untuk melakukan supervisi klinis di kelas. Penulis berhipotesa bahwa para pengawas dewasa ini belum melaksanakan tugas pokoknya yaitu supervisi klinis secara maksimal. Jika pengawas sekolah datang di sekolah yang dilakukan adalah memeriksa kelas-kelas, menanyakan RPP guru apakah sudah dibuat atau belum, mengisi buku tamu, mengobrol dengan kepala sekolah di ruang kepala sekolah, jika keluar dari ruang kepala sekolah pergi ke ruang guru ganti ngobrol dengan guru dan kemudian kembali ke ruang kepala sekolah lagi lalu pamit meninggalkan sekolah.

Pengawas harus mengambil posisi sebagai mitra bagi kepala sekolah, guru, staf tata usaha dan komite sekolah dalam menjalankan tugasnya. Jadi dalam melakukan pembinaan pengawas tidak lagi dalam posisi memberi perintah, petunjuk dan pengarahan yang ada menjadi pemberdayaan dan pendampingan. Yang dimaksud pemberdayaan sekolah adalah membuat mampu pihak sekolah dalam menjalankan tugasnya dengan cara memperlancar, menyediakan waktu dan tenaga untuk berlangsungnya proses konsultasi, membina bekerjasama, membimbing, dan mendukung program positif sekolah.

Untuk dapat memberdayakan semua unsur yang ada di sekolah, seorang pengawas tentu harus memberdayakan dirinya sendiri terlebih dahulu. Ini modal utama agar dalam upaya pemberdayaan lebih efektif. Pengawas perlu mengetahui apakah dirinya telah memenuhi harapan-harapan sekolah, sebaliknya sekolah pun membutuhkan umpan balik yang sama dari pengawas tentang kemajuan sekolahnya menurut penilaian pengawas. Kerjasama inilah yang dapat meningkatkan kualitas dan kinerja pengawas. Apabila seorang pengawas dianggap tidak mampu oleh pihak sekolah, maka ia tidak akan memperoleh informasi yang diharapkan dan akan melemahkan fungsinya sebagai supervisor. Pengawas tipe ini biasanya hanya akan menjalankan tugasnya secara formalitas. Sebaliknya, bila menghadapi pengawas yang demikian, maka kepala sekolah tidak akan memberikan informasi yang sebenarnya dan cenderung menutupi kelemahannya. Oleh sebab itu pengawas harus menyakinkan bahwa dirinya memiliki pengetahuan yang dapat memberdayakan semua unsur yang ada di sekolah kepada kepala sekolah, guru, staf tatausaha dan komite sekolah. Setelah tumbuh kepercayaan dari semua unsur di sekolah, baru pengawas melakukan kerjasama dengan pihak kepala sekolah dan guru untuk memberdayakan sekolah. Dalam prakteknya, pengawas mengambil peranan sebagai supervisor yang memiliki wawasan pemberdayaan untuk membantu kepala sekolah dan guru dalam mengelola pendidikan dan pembelajaran, memperlancar pengembangan sekolah, menerima konsultasi, menjadi perekat bekerjasama, membimbing dan mendukung pihak terkait dalam menjalankan fungsinya dalam pemberdayaan sekolah.
Pengawas sekolah harus mampu mengaplikasikan Supervisi klinis secara baik.
Pengawas mempunyai tugas mengendalikan, menilai, dan mengadakan supervisi terhadap sekolah yang menjadi bidang pengawasannya. Dalam kaitannya dengan pembahasan dalam tulisan ini, penulis hanya akan menekankan pada masalah meningkatkan pelaksanaan supervisi di sekolah khususnya masalah supervisi pembelajaran/supervisi klinis. Supervisi klinis pada dasarnya merupakan pembinaan performansi guru mengelola proses belajar mengajar. Tujuan supervisi klinik adalah untuk membantu memodifikasi pola-pola pembelajaran yang tidak atau kurang efektif. Tujuan ini dirinci lagi ke dalam tujuan yang lebih spesifik, sebagai berikut: (1) Menyediakan umpan balik yang obyektif terhadap guru, mengenai Pembelajaran yang dilaksanakannya; (2) Mendiagnosis dan membantu memecahkan masalah-masalah Pembelajaran; (3) Membantu guru mengembangkan keterampilannnya menggunakan strategi Pembelajaran; (4) Mengevaluasi guru untuk kepentingan promosi jabatan dan keputusan lainnya; (5) Membantu guru mengembangkan satu sikap positif terhadap pengembangan profesional yang berkesinambungan.

Adapun tahapan supervise klinis adalah sebagai berikut : Pertama: tahap pertemuan awal. Tahap pertama dalam proses supervisi klinik adalah tahap pertemuan awal (preconference). Pertemuan awal ini dilakukan sebelum melaksanakan observasi kelas sehingga banyak juga para teoritisi supervisi klinik yang menyebutkan dengan istilah tahap pertemuan sebelum observasi (preobservation Conference). Tujuan utama pertemuan awal ini adalah untuk mengembangkan, bersama antara supervisor dan guru, kerangka kerja observasi kelas yang akan dilakukan. Hasil akhir pertemuan awal ini adalah kesepakatan (contract) kerja antara supervisor dan guru. Tujuan ini bisa dicapai apabila dalam pertemuan awal ini tercipta kerja sama, hubungan kemanusian dan komunikasi yang baik antara supervisor dengan guru. Selanjutnya kualitas hubngan yang baik antara supervisor dan guru memiliki pengaruh signifikan terhadap kesuksesan tahap berikutnya dalam proses supervisi klinik. Oleh sebab itu para teoritisi banyak menyarankan agar pertemuan awal ini, dilaksanakan secara rileks dan terbuka. Perlu sekali diciptakan kepercayaan guru terhadap supervisor, sebab kepercayaan ini akan mempengaruhi efektivitas pelaksanaan pertemuan awal ini. Kepercayaan ini berkenaan dengan kenyakinan guru bahwa supervisor memperhatikan minat atau perhatian guru. Secara teknis, ada delapan kegiatan yang harus dilaksanakan dalam pertemuan awal ini, yaitu (1) menciptakan suasana yang akrab dan terbuka, (2) mengidentifikasi aspek-aspek yang akan dikembangkan guru dalam Pembelajaran. (3) menerjemahkan perhatian guru ke dalam tingkah laku yang bisa diamati, (4) mengidentifikasi prosedur untuk memperbaiki Pembelajaran guru, (5) membantu guru memperbaiki tujuannya sendiri (6) menetapkan waktu observasi kelas, (7) menyeleksi instrumen observasi kelas, dan (8) memperjelas konteks Pembelajaran dengan melihat data yang akan direkam.

Kedua: tahap observasi mengajar. Tahap kedua dalam proses supervisi klinik adalah tahap observasi mengajar secara sistematis dan obyektif. Perhatian observasi ini ditujukan pada guru dalam bertindak dan kegiatan-kegiatan kelas sebagai hasil tindakan guru. Waktu dan tempat observasi mengajar ini sesuai dengan kesepakatan bersama antara supervisor dan guru pada waktu mengadakan pertemuan awal. Observasi mengajar, mungkin akan terasa sangat kompleks dan sulit, dan tidak jarang adanya supervisor yang mengalami kesulitan. Dengan demikian supervisor dituntut untuk menggunakan bermacam-macam ketrampilan. Ada dua aspek yang harus diputuskan dan dilaksanakan oleh supervisor sebelum dan sesudah melaksanakan observasi mengajar, yaitu menentukan aspek-aspek yang akan diobservasi mengajar dan bagaimana cara mengobservasinta.Aspek-aspek yang akan diobservasi harus sesuai dengan hasil diskusi antara supervisor dan guru pada waktu pertemuan awal. Sedangkan mengenai bagaimana mengobservasi juga perlu mendapatkan perhatian. Maksud baik supervisi akan tidak berarti apabila usaha-usaha observasi tidak bisa memperoleh data yang seharusnya diperoleh. Tujuan utama pengumpulan data adalah untuk memperoleh informasi yang nantinya akan digunakan untuk mengadakan tukar pikiran dengan guru setelah observasi aktivitas yang telah dilakukan di kelas. Di sinilah letak pentingnya teknik dan instrumen oberservasi yang bisa digunakan untuk mengobservasi guru mengelola proses belajar mengajar.

Ketiga: tahap pertemuan balikan. Pertemuan balikan dilakukan segera setelah melaksanakan observasi Pembelajaran, dengan terlebih dahulu dilakukan analisis terhadap hasil observasi. Tujuan utama pertemuan balikan ini adalah ditindaklanjuti apa saja yang dilihat oleh supervisor, sebagai onserver, terhadap proses belajar mengajar. Pembicaraan dalam pertemuan balikan ini adalah ditekankan pada identifikasi dan analisis persamaan dan perbedaan antara perilaku guru dan peserta didik yang direncanakan dan perilaku aktual guru dan peserta didik, serta membuat keputusan tentang apa dan bagaimana yang seharusnya akan dilakukan sehubungan dengan perbedaan yang ada. Pertemuan balikan ini merupakan tahap yang penting untuk mengembangkan perilaku guru dengan cara memberikan balikan tertentu. Balikan ini harus deskriptif, spesifik, konkrit, bersifat memotivasi, aktual, dan akurat sehingga betul-betul bermanfaat bagi guru. Paling tidak ada lima manfaat pertemuan balikan bagi guru yaitu: (1) guru bisa diberikan penguatan dan kepuasan, sehingga bisa termotivasi dalam kerjanya, (2) isu-isu dalam Pembelajaran bisa didefinisikan bersama supervisor dan guru dengan tepat, (3) supervisor bila mungkin dan perlu, bisa berupaya mengintervensi secara langsung guru untuk memberikan bantuan didaktis dan bimbingan, (4) guru bisa dilatih dengan teknik ini untuk melakukan supervisi terhadap dirinya sendiri, dan (5) guru bisa diberi pengetahuan tambahan untuk meningkatkan tingkat analisis profesional diri pada masa yang akan datang. Tentunya sebelum mengadakan pertemuan balikan ini supervisor terlebih dahulu menganalisa hasil observasi dan merencanakan bahan yang akan dibicarakan dengan guru. Begitu pula diharapkan guru menilai dirinya sendiri. Setelah itu dilakukan pertemuan balikan ini. Dalam pertemuan balikan ini sangat diperlukan adanya keterbukaan antara supervisor dan guru. Sebaiknya, pertama-tama supervisor menanamkan kepercayaan pada diri guru bahwa pertemuan balikan ini bukan untuk menyalahkan guru melainkan untuk memberikan masukan balikan. Oleh sebab banyak para teoritisi yang menganjurkan agar pertama-tama yang harus dilakukan oleh supervisor dalam setiap pertemuan balikan adalah memberikan penguatan (reinforcement) terhadap guru. Baru setelah melanjutkan dengan analisis bersama setiap aspek Pembelajaran yang menjadi perhatian supervisi klinis.

Dalam pelaksanaan supervisi klinik sangat diperlukan iklim kerja yang baik dalam pertemuan awal, observasi Pembelajaran, maupun dalam pertemuan balikan. Faktor yang sangat menentukan keberhasilan supervisi klinik sebagai satu pendekatan supervisi Pembelajaran adalah kepercayaan (trust) pada guru bahwa tugas supervisor semata-mata untuk membantu  mengembangkan Pembelajaran guru. Upaya memperoleh kepercayaan guru ini memerlukan satu iklim kerja yang oleh para teoritisi disebut dengan istilah kolegial (collegial).