MENAJAMKAN PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH

Rabu, 09 Maret 2011

BEDA ORANG BERILMU DENGAN ORANG BODOH

Tidak ada agama selain Islam, dan tidak ada kitab suci selain Al-Qur’an yang sedemikian tinggi menghargai ilmu pengetahuan, mendorong untuk mencarinya, dan memuji orang-orang yang menguasainya. Termasuk di dalamnya menjelaskan ilmu dan pengaruhnya di dunia dan akhirat, mendorong untuk belajar dan mengajar, Untuk mengenal diri kita dari kaca mata keilmuan dan pengamalannya, orang itu terbagi menjadi empat karakter. Pertama, orang yang tahu, dan ia tahu bahwa dirinya tahu, dialah orang alim, maka bertanyalah (belajarlah) kepadanya. Kedua, orang yang tahu, tapi ia tidak tahu bahwa dirinya tahu. Inilah orang yang lupa. Maka ingatkanlah ia. Ketiga, orang yang tidak tahu, dan ia tahu bahwa dirinya tidak tahu. Inilah orang yang minta bimbingan, maka bimbinglah ia. Keempat, orang yang tidak tahu, tapi ia tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu, inilah orang bodoh.

Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman, “ . . . Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?....”(az-Zumar:9). Seperti yang diuraikan diatas bahwa orang yang berilmu jelas tidak sama dengan orang bodoh. Allah SWT membedakan antara orang yang berilmu dan orang yang jahil/bodoh. Terlepas dari substansinya ilmu pengetahuan, yang terpenting adalah antara orang yang berilmu dan orang yang bodoh jelas tidak sama. Seperti halnya antara orang buta dan orang yang melihat, kegelapan dan cahaya, orang yang hidup dan mati, serta antara penghuni surga dan penghuni neraka.

Dalam Al-Qur’an kita membaca, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba Nya hanyalah ulama” (Faathir:28). Orang alim (ulama) adalah cahaya bagi manusia lainnya. Dengan dirinyalah manusia dapat tertunjuki jalan hidupnya. Dengan redaksi yang membatasi, menggunakan kata innamaa ‘hanya’, berarti hanyalah ulama dari sekian hamba-Nya yang takut kepada Allah, yaitu mereka yang mengetahui keagungan-Nya dan memuliakan-Nya dengan semestinya. Orang-orang yang takut kepada Allah SWT akan mendapatkan ganjaran dari-Nya, “Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga ‘And yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.” (al-Bayyinah:8). Sedangkan orang bodoh menyatakan bahwa ulama sama saja dengan dirinya karena mereka memang tidak tahu sehingga apa yang ia perbuat condong berani menentang Allah SWT.

Ibnu Mas’ud berkata, “Cukup dengan takut kepada Allah sebagai ilmu, dan keberanian menentang Allah SWT sebagai kebodohan.”

Minggu, 06 Maret 2011

HANCURNYA PENDIDIKAN OLEH KAUM INTELEKTUAL DAERAH


Dalam konteks otonomi daerah, pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dimulai dari diterapkannya UU Nomor 22 tahun 1999 dan disempurnakan dengan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, yang pada hakikatnya memberi kewenangan dan keluasan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan.

Realisasi dari UU ini tentunya mengarah pada tanggung jawab pemerintah daerah yang semakin meningkat dan semakin luas. Pemerintah daerah dengan legitimasi UU ini diharapkan senantiasa meningkatkan kemampuannya dalam berbagai tahap pembangunan pendidikan sejak mulai tahap perumusan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan sampai pada tingkat pengawasan.

Tentu saja kewenangan besar yang dimiliki oleh daerah ini hanya akan bermanfaat apabila pemerintah daerah memiliki sumber daya manusia (SDM) yang memiliki kompetensi memadahi untuk membuat kebijakan-kebijakan yang akurat.

Namun yang terjadi dilapangan sangat berlawanan dengan harapan masyarakat luas, permasalahan pendidikan di tingkat Kabupaten di era otonomi semakin bertambah komplek. Hal ini disebabkan karena pengambil kebijakan/para intelektual di daerah kurang memahami pendidikan itu sendiri.

Dari hasil pemantauan menunjukan bahwa hambatan di bidang pendidikan yang dihadapi daerah sejak sebelum otonomi daerah hingga kini belum banyak bergeser. Persoalannya masih di sekitar permasalahan sarana dan prasarana pendidikan yang tidak lengkap, jumlah dan mutu tenaga yang kurang dengan ketersebaran yang tidak merata. Akibatnya, kegiatan belajar-mengajar yang mengarah pada upaya perbaikan hasil belajar sulit terwujud. Banyak pihak menilai pengelolaan pelayanan pendidikan dasar di era otonomi daerah tidak menunjukkan perobahan berarti, bahkan cenderung memburuk. Permasalahan ini juga perlu mendapat perhatian khusus dari para pemegang kekuasaan dengan cara menganggarkan DAU untuk pendidikan secara proposional, jangan hanya dengan jargon saja bahwa pendidikan merupakan prioritas utama namun kenyataannya dana pendidikan minim sekali. Ada pejabat daerah yang menyatakan bahwa alokasi dana untuk pendidikan sudah sangat besar tapi setelah kita cermati ternyata dana besar tersebut adalah dana dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah propinsi sedangkan dana yang dari pemerintah kabupaten nol besar.

Bupati dengan kewenangannya yang besar terkadang membuat suatu kebijakan yang tidak dilandasi atau didasarkan pada kemampuan melainkan unsur suka-tidak suka dan kedekatan personal. Sebagai contoh di salah satu Kabupaten propinsi Jawa Timur, seorang kepala UPT Dinas Pendidikan yang membidangi pendidikan di tingkat TK/SD diangkat menjadi Kepala Bidang Pendidikan Menengah yang mengurusi pendidikan SMP/SMA/SMK otomatis yang bersangkutan tidak memiliki kompetensi sesuai dengan jabatannya. Siapa yang salah? Bisa di tebak yang salah adalah yang mengangkat. Kemudian parahnya lagi setelah ada masukan dari masyarakat 2 bulan kemudian yang bersangkutan digeser lagi ke bidang lain, hal ini menunjukan kebijakan yang coba-coba dan ujungnya merugikan masyarakat banyak. Semoga hal-hal seperti tersebut tidak akan terjadi lagi.

Permasalahan lain juga muncul saat pengangkatan kepala sekolah, tidak jarang penguasa mengangkat/memberhentikan kepala sekolah bukan berdasarkan kemampuan tapi berdasarkan kedekatan personal atau siapa orangnya siapa, lebih parah lagi kalau dikaitkan dengan berapa saudara berani beli tempat tersebut. Hal ini sangat tidak baik bagi perkembangan dunia pendidikan di daerah. Perlu diketahui para pengambil kebijakan bahwa kepala sekolah merupakan unsur yang sangat menentukan maju mundurnya pendidikan oleh karena itu perlu dipertimbangkan dengan bijaksana agar masyarakat luas tidak dirugikan dan berujung pada peningkatan mutu sumber daya manusia di Kabupaten tersebut.

Permasalahan lain lagi misalnya perilaku birokrasi dan birokrat pendidikan di daerah masih belum bersikap seperti pamong, apalagi ketika Kabupaten menjadi otonom, cukup banyak pejabat publik pengurus pendidikan yang meskipun memenuhi syarat kepangkatan, sama sekali tidak memahami esensi pendidikan, hal ini akan menghancurkan pendidikan itu sendiri. Tolong penguasa untuk menempatkan orang jangan sampai dilandasi suka tidak suka melainkan kompetensi yang dimiliki oleh personil yang akan menempati pos tersebut.

Apabila permasalahan-permaslahan tersebut tidak mendapat perhatian maka ungkapan bahwa “negeri ini dihancurkan oleh kaum intelektualnya sendiri” mendekati kebenaran dan kita tinggal menunggu hancurnya sebuah generasi. Mari kita doakan semoga para intelektual daerah sadar dan segera berbuat untuk daerahnya.

Rabu, 02 Maret 2011

DI PUNDAK PENGAWAS SEKOLAH, MUTU PENDIDIKAN DIPERTARUHKAN

Mengapa pengawas sekolah memiliki tanggungjawab besar terhadap peningkatan mutu pendidikan ?
Judul tulisan di atas yang menaruh harapan besar tentang peningkatan mutu pendidikan di pundak pengawas sekolah sekiranya tidak terlalu berlebihan karena pengawas sekolah merupakan pejabat fungsional yang berkedudukan sebagai pelaksana teknis untuk melakukan pengawasan pendidikan terhadap sejumlah sekolah tertentu yang ditunjuk/ditetapkan dalam upaya meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar/bimbingan untuk mencapai tujuan pendidikan. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 12 Tahun 2007 tentang Standar Pengawas Sekolah/Madrasah menegaskan bahwa seorang pengawas harus memiliki 6 (enam) kompetensi minimal, yaitu kompetensi kepribadian, supervisi manajerial, supervisi akademik, evaluasi pendidikan, penelitian dan pengembangan serta kompetensi sosial. Untuk meningkatkan mutu pendidikan, pengawas dituntut keprofesionalannya untuk melaksanakaan tugas pokok dan fungsinya sesuai dengan kompetensinya karena tugas pengawas sangat erat kaitannya dengan penjaminan mutu pendidikan di suatu lembaga persekolahan. Namun kondisi di lapangan saat ini menunjukan bahwa masih banyak pengawas sekolah yang belum menguasai keenam dimensi kompetensi tersebut dengan baik. Survei yang dilakukan oleh Direktorat Tenaga Kependidikan pada Tahun 2008 terhadap para pengawas di suatu kabupaten menunjukkan bahwa para pengawas memiliki kelemahan dalam kompetensi supervisi akademik, evaluasi pendidikan, penelitian dan pengembangan.

Dilain pihak, usaha apapun yang telah dilakukan pemerintah mengawasi jalannya pendidikan untuk mendobrak mutu bila tidak ditindak lanjuti dengan pembinaan guru, kepala sekolah dan stakeholder lain yang ada disekolah maka tidak akan berdampak nyata pada kegiatan layanan di sekolah yang pada ujungnya tidak terjadi peningkatan mutu pendidikan yang berarti. Kegiatan pembinaan guru merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam setiap usaha peningkatan mutu pembelajaran, disinilah seharusnya pengawas memberikan perhatian khusus untuk melakukan pembinaan. Demikian juga peranan pengawas untuk memberikan inspirasi dan dorongan kepada kepala sekolah dan tenaga kependidikan lainnya untuk terus mengembangkan profesionalisme dan meningkatkan kinerja mereka sangat berpengaruh pada peningkatan mutu pendidikan. Bagi kepala sekolah, pengawas layaknya mitra tempat berbagi serta konsultan tempat meminta saran dan pendapat dalam pengelolaan sekolah. Sementara itu bagi guru, pengawas sekolah selayaknya menjadi ”gurunya guru” dalam memecahkan problema dan meningkatkan kualitas pembelajaran.

Atas dasar itu jelas bahwa peran dan fungsi pengawas dalam peningkatan mutu pendidikan sangat strategis, sehingga pengawas harus menyadari bahwa dirinya memiliki tanggungjawab yang besar dalam meningkatkan mutu pendidikan. 

Tidak semua pengawas mampu meningkatkan mutu pendidikan.
Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Direktorat Tenaga Kependidikan pada Tahun 2008 menunjukkan bahwa salah satu kelemahan para pengawas adalah terletak pada kompetensi supervisi akademik. Kompetensi tersebut meliputi : (1) Memahami konsep, prinsip, teori dasar, karakteristik, dan kecenderungan perkembangan tiap mata pelajaran dalam rumpun mata pelajaran yang relevan di sekolah menengah yang sejenis; (2) Memahami konsep, prinsip, teori/teknologi, karakteristik, dan kecenderungan perkembangan proses pembelajaran /bimbingan tiap mata pelajaran dalam rumpun mata pelajaran yang relevan di sekolah menengah yang sejenis; (3) Membimbing guru dalam menyusun silabus tiap mata pelajaran dalam rumpun mata pelajaran yang relevan di sekolah menengah yang sejenis berlandaskan standar isi, standar kompetensi dan kompetensi dasar, dan prinsip-prinsip pengembangan KTSP; (4) Membimbing guru dalam memilih dan menggunakan strategi/metode/teknik pembelajaran/bimbingan yang dapat mengembangkan berbagai potensi siswa melalui mata-mata pelajaran dalam rumpun mata pelajaran yang relevan di sekolah menengah yang sejenis; (5) Membimbing guru dalam menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) untuk tiap mata pelajaran dalam rumpun mata pelajaran yang relevan di sekolah menengah yang sejenis; (6) Membimbing guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran/bimbingan (di kelas, laboratorium, dan atau di lapangan) untuk tiap mata pelajaran dalam rumpun mata pelajaran yang relevan di sekolah menengah yang sejenis; (7) Membimbing guru dalam mengelola, merawat, mengembangkan dan menggunakan media pendidikan dan fasilitas pembelajaran/bimbingan tiap mata pelajaran dalam rumpun mata pelajaran yang relevan di sekolah menengah yang sejenis; (8) Memotivasi guru untuk memanfaatkan teknologi informasi dalam pembelajaran/ bimbingan tiap mata pelajaran dalam rumpun mata pelajaan yang relevan di sekolah menengah yang sejenis.

Sementara tidak efektifnya pengawas sekolah berdasarkan pengamatan dan analisis patut diduga yang menjadi penyebab rendahnya kinerja pengawas (perilaku kepengawasan) antara lain belum terpenuhinya standar kompetensi pengawas yakni salah satunya adalah kompetensi supervisi akademik tersebut diatas. Berdasarkan masukan dari berbagai pihak kelemahan pengawas di lapangan terletak pada kemampuan pengawas untuk melakukan supervisi klinis di kelas. Penulis berhipotesa bahwa para pengawas dewasa ini belum melaksanakan tugas pokoknya yaitu supervisi klinis secara maksimal. Jika pengawas sekolah datang di sekolah yang dilakukan adalah memeriksa kelas-kelas, menanyakan RPP guru apakah sudah dibuat atau belum, mengisi buku tamu, mengobrol dengan kepala sekolah di ruang kepala sekolah, jika keluar dari ruang kepala sekolah pergi ke ruang guru ganti ngobrol dengan guru dan kemudian kembali ke ruang kepala sekolah lagi lalu pamit meninggalkan sekolah.

Pengawas harus mengambil posisi sebagai mitra bagi kepala sekolah, guru, staf tata usaha dan komite sekolah dalam menjalankan tugasnya. Jadi dalam melakukan pembinaan pengawas tidak lagi dalam posisi memberi perintah, petunjuk dan pengarahan yang ada menjadi pemberdayaan dan pendampingan. Yang dimaksud pemberdayaan sekolah adalah membuat mampu pihak sekolah dalam menjalankan tugasnya dengan cara memperlancar, menyediakan waktu dan tenaga untuk berlangsungnya proses konsultasi, membina bekerjasama, membimbing, dan mendukung program positif sekolah.

Untuk dapat memberdayakan semua unsur yang ada di sekolah, seorang pengawas tentu harus memberdayakan dirinya sendiri terlebih dahulu. Ini modal utama agar dalam upaya pemberdayaan lebih efektif. Pengawas perlu mengetahui apakah dirinya telah memenuhi harapan-harapan sekolah, sebaliknya sekolah pun membutuhkan umpan balik yang sama dari pengawas tentang kemajuan sekolahnya menurut penilaian pengawas. Kerjasama inilah yang dapat meningkatkan kualitas dan kinerja pengawas. Apabila seorang pengawas dianggap tidak mampu oleh pihak sekolah, maka ia tidak akan memperoleh informasi yang diharapkan dan akan melemahkan fungsinya sebagai supervisor. Pengawas tipe ini biasanya hanya akan menjalankan tugasnya secara formalitas. Sebaliknya, bila menghadapi pengawas yang demikian, maka kepala sekolah tidak akan memberikan informasi yang sebenarnya dan cenderung menutupi kelemahannya. Oleh sebab itu pengawas harus menyakinkan bahwa dirinya memiliki pengetahuan yang dapat memberdayakan semua unsur yang ada di sekolah kepada kepala sekolah, guru, staf tatausaha dan komite sekolah. Setelah tumbuh kepercayaan dari semua unsur di sekolah, baru pengawas melakukan kerjasama dengan pihak kepala sekolah dan guru untuk memberdayakan sekolah. Dalam prakteknya, pengawas mengambil peranan sebagai supervisor yang memiliki wawasan pemberdayaan untuk membantu kepala sekolah dan guru dalam mengelola pendidikan dan pembelajaran, memperlancar pengembangan sekolah, menerima konsultasi, menjadi perekat bekerjasama, membimbing dan mendukung pihak terkait dalam menjalankan fungsinya dalam pemberdayaan sekolah.
Pengawas sekolah harus mampu mengaplikasikan Supervisi klinis secara baik.
Pengawas mempunyai tugas mengendalikan, menilai, dan mengadakan supervisi terhadap sekolah yang menjadi bidang pengawasannya. Dalam kaitannya dengan pembahasan dalam tulisan ini, penulis hanya akan menekankan pada masalah meningkatkan pelaksanaan supervisi di sekolah khususnya masalah supervisi pembelajaran/supervisi klinis. Supervisi klinis pada dasarnya merupakan pembinaan performansi guru mengelola proses belajar mengajar. Tujuan supervisi klinik adalah untuk membantu memodifikasi pola-pola pembelajaran yang tidak atau kurang efektif. Tujuan ini dirinci lagi ke dalam tujuan yang lebih spesifik, sebagai berikut: (1) Menyediakan umpan balik yang obyektif terhadap guru, mengenai Pembelajaran yang dilaksanakannya; (2) Mendiagnosis dan membantu memecahkan masalah-masalah Pembelajaran; (3) Membantu guru mengembangkan keterampilannnya menggunakan strategi Pembelajaran; (4) Mengevaluasi guru untuk kepentingan promosi jabatan dan keputusan lainnya; (5) Membantu guru mengembangkan satu sikap positif terhadap pengembangan profesional yang berkesinambungan.

Adapun tahapan supervise klinis adalah sebagai berikut : Pertama: tahap pertemuan awal. Tahap pertama dalam proses supervisi klinik adalah tahap pertemuan awal (preconference). Pertemuan awal ini dilakukan sebelum melaksanakan observasi kelas sehingga banyak juga para teoritisi supervisi klinik yang menyebutkan dengan istilah tahap pertemuan sebelum observasi (preobservation Conference). Tujuan utama pertemuan awal ini adalah untuk mengembangkan, bersama antara supervisor dan guru, kerangka kerja observasi kelas yang akan dilakukan. Hasil akhir pertemuan awal ini adalah kesepakatan (contract) kerja antara supervisor dan guru. Tujuan ini bisa dicapai apabila dalam pertemuan awal ini tercipta kerja sama, hubungan kemanusian dan komunikasi yang baik antara supervisor dengan guru. Selanjutnya kualitas hubngan yang baik antara supervisor dan guru memiliki pengaruh signifikan terhadap kesuksesan tahap berikutnya dalam proses supervisi klinik. Oleh sebab itu para teoritisi banyak menyarankan agar pertemuan awal ini, dilaksanakan secara rileks dan terbuka. Perlu sekali diciptakan kepercayaan guru terhadap supervisor, sebab kepercayaan ini akan mempengaruhi efektivitas pelaksanaan pertemuan awal ini. Kepercayaan ini berkenaan dengan kenyakinan guru bahwa supervisor memperhatikan minat atau perhatian guru. Secara teknis, ada delapan kegiatan yang harus dilaksanakan dalam pertemuan awal ini, yaitu (1) menciptakan suasana yang akrab dan terbuka, (2) mengidentifikasi aspek-aspek yang akan dikembangkan guru dalam Pembelajaran. (3) menerjemahkan perhatian guru ke dalam tingkah laku yang bisa diamati, (4) mengidentifikasi prosedur untuk memperbaiki Pembelajaran guru, (5) membantu guru memperbaiki tujuannya sendiri (6) menetapkan waktu observasi kelas, (7) menyeleksi instrumen observasi kelas, dan (8) memperjelas konteks Pembelajaran dengan melihat data yang akan direkam.

Kedua: tahap observasi mengajar. Tahap kedua dalam proses supervisi klinik adalah tahap observasi mengajar secara sistematis dan obyektif. Perhatian observasi ini ditujukan pada guru dalam bertindak dan kegiatan-kegiatan kelas sebagai hasil tindakan guru. Waktu dan tempat observasi mengajar ini sesuai dengan kesepakatan bersama antara supervisor dan guru pada waktu mengadakan pertemuan awal. Observasi mengajar, mungkin akan terasa sangat kompleks dan sulit, dan tidak jarang adanya supervisor yang mengalami kesulitan. Dengan demikian supervisor dituntut untuk menggunakan bermacam-macam ketrampilan. Ada dua aspek yang harus diputuskan dan dilaksanakan oleh supervisor sebelum dan sesudah melaksanakan observasi mengajar, yaitu menentukan aspek-aspek yang akan diobservasi mengajar dan bagaimana cara mengobservasinta.Aspek-aspek yang akan diobservasi harus sesuai dengan hasil diskusi antara supervisor dan guru pada waktu pertemuan awal. Sedangkan mengenai bagaimana mengobservasi juga perlu mendapatkan perhatian. Maksud baik supervisi akan tidak berarti apabila usaha-usaha observasi tidak bisa memperoleh data yang seharusnya diperoleh. Tujuan utama pengumpulan data adalah untuk memperoleh informasi yang nantinya akan digunakan untuk mengadakan tukar pikiran dengan guru setelah observasi aktivitas yang telah dilakukan di kelas. Di sinilah letak pentingnya teknik dan instrumen oberservasi yang bisa digunakan untuk mengobservasi guru mengelola proses belajar mengajar.

Ketiga: tahap pertemuan balikan. Pertemuan balikan dilakukan segera setelah melaksanakan observasi Pembelajaran, dengan terlebih dahulu dilakukan analisis terhadap hasil observasi. Tujuan utama pertemuan balikan ini adalah ditindaklanjuti apa saja yang dilihat oleh supervisor, sebagai onserver, terhadap proses belajar mengajar. Pembicaraan dalam pertemuan balikan ini adalah ditekankan pada identifikasi dan analisis persamaan dan perbedaan antara perilaku guru dan peserta didik yang direncanakan dan perilaku aktual guru dan peserta didik, serta membuat keputusan tentang apa dan bagaimana yang seharusnya akan dilakukan sehubungan dengan perbedaan yang ada. Pertemuan balikan ini merupakan tahap yang penting untuk mengembangkan perilaku guru dengan cara memberikan balikan tertentu. Balikan ini harus deskriptif, spesifik, konkrit, bersifat memotivasi, aktual, dan akurat sehingga betul-betul bermanfaat bagi guru. Paling tidak ada lima manfaat pertemuan balikan bagi guru yaitu: (1) guru bisa diberikan penguatan dan kepuasan, sehingga bisa termotivasi dalam kerjanya, (2) isu-isu dalam Pembelajaran bisa didefinisikan bersama supervisor dan guru dengan tepat, (3) supervisor bila mungkin dan perlu, bisa berupaya mengintervensi secara langsung guru untuk memberikan bantuan didaktis dan bimbingan, (4) guru bisa dilatih dengan teknik ini untuk melakukan supervisi terhadap dirinya sendiri, dan (5) guru bisa diberi pengetahuan tambahan untuk meningkatkan tingkat analisis profesional diri pada masa yang akan datang. Tentunya sebelum mengadakan pertemuan balikan ini supervisor terlebih dahulu menganalisa hasil observasi dan merencanakan bahan yang akan dibicarakan dengan guru. Begitu pula diharapkan guru menilai dirinya sendiri. Setelah itu dilakukan pertemuan balikan ini. Dalam pertemuan balikan ini sangat diperlukan adanya keterbukaan antara supervisor dan guru. Sebaiknya, pertama-tama supervisor menanamkan kepercayaan pada diri guru bahwa pertemuan balikan ini bukan untuk menyalahkan guru melainkan untuk memberikan masukan balikan. Oleh sebab banyak para teoritisi yang menganjurkan agar pertama-tama yang harus dilakukan oleh supervisor dalam setiap pertemuan balikan adalah memberikan penguatan (reinforcement) terhadap guru. Baru setelah melanjutkan dengan analisis bersama setiap aspek Pembelajaran yang menjadi perhatian supervisi klinis.

Dalam pelaksanaan supervisi klinik sangat diperlukan iklim kerja yang baik dalam pertemuan awal, observasi Pembelajaran, maupun dalam pertemuan balikan. Faktor yang sangat menentukan keberhasilan supervisi klinik sebagai satu pendekatan supervisi Pembelajaran adalah kepercayaan (trust) pada guru bahwa tugas supervisor semata-mata untuk membantu  mengembangkan Pembelajaran guru. Upaya memperoleh kepercayaan guru ini memerlukan satu iklim kerja yang oleh para teoritisi disebut dengan istilah kolegial (collegial).